Toh Rakyat Menginginkan
Lalu Apa Salahnya Koruptor Dihukum Mati ?
Oleh : Herman Rahma Wanto
(3301413085)
Hasil Indonesia Survey Center (ISC) cukup mengejutkan.
Tak tanggung-tanggung, publik menghendaki sanksi hukuman mati bagi para
koruptor. Survei yang melibatkan 1.600 responden dari 33 provinsi ini
menyebutkan, hukuman mati dipilih masyarakat sebanyak 64,1 persen sebagai cara
paling efektif untuk menghukum koruptor di negeri ini. Selain sanksi hukuman
mati, 24,6 persen responden menghendaki koruptor dipenjara seumur hidup.
Sisanya, sebanyak 11,3 persen responden, memilih agar terpidana korupsi
dimiskinkan. Dengan tingkat kepercayaan sebesar 95 persen, margin of error
sekitar 2,4 persen, hasil survei ini tak bisa dipandang sepele. Fakta tersebut setidaknya
menjadi gambaran bahwa masyarakat menginginkan koruptor untuk dihukum mati.
Dalam beberapa tahun terakhir, kita patut
mengapresiasi kerja keras Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan dukungan
masyarakat, termasuk Kepolisian, KPK telah berhasil menyeret sejumlah koruptor
kakap ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Sebuah langkah maju yang
mustahil terwujud sebelum lembaga antikorupsi ini dibentuk.
Meskipun demikian, amat disayangkan, hukuman terhadap
terpidana korupsi dirasakan masih ringan. Sejak berlakunya UU Tipikor Nomor 20
Tahun 2001, tak banyak koruptor yang dijatuhi vonis berat. Dari ribuan
terpidana korupsi di Indonesia, sejauh ini baru sembilan koruptor yang divonis
maksimal. Lima di antaranya divonis seumur hidup, dan sisanya dihukum 20 tahun
penjara. Di luar sembilan terpidana tersebut, sebagian besar koruptor lainnya
hanya dihukum tiga tahun, empat tahun, atau lima tahun penjara.
Sebagai tindak kejahatan luar biasa (Exstra Ordinary
Crime), yang berdampak sangat masif dan merugikan banyak pihak, sanksi yang
selama ini dijatuhkan dirasakan belum memberikan efek jera. bahkan di tahun
2013 Indek Korupsi Indonesia mencapai angka 3,2 sebagai salah satu negara
terkorup diDunia.
Menurut mantan ketua Bappenas, Kwik Kian Gie, menyebut
lebih dari Rp. 300 triliun dana dari penggelapan pajak, kebocoran APBN, maupun
penggelapan hasil sumberdaya alam, menguap masuk ke kantong para koruptor.
Sebagai tindak kejahatan kategori luar biasa, aparat
penegak hukum seharusnya melakukan langkah-langkah yang juga luar biasa. Selain
memastikan KPK bebas dari intervensi politik, hukuman yang menimbulkan efek
jera hendaknya menjadi kata kunci dalam memberantas korupsi. Tanpa adanya efek
jera, mustahil hukum bisa ditegakkan, mustahil pula korupsi bisa diberantas. Karena
itu, selain vonis penjara maksimal dan dimiskinkan, hukuman mati bagi terpidana
korupsi perlu dipertimbangkan penerapannya. Kendati masih diwarnai pro dan
kontra.
Sebagai contoh, guna memberantas korupsi di negeri
ini, kita perlu belajar dari pengalaman RRC memberantas korupsi. Di bawah
kepemimpinan Perdana Menteri Zu Rongji, 1997-2002, Tiongkok konsisten mengawal
pembangunan ekonomi. Salah satunya dengan mempersempit ruang bagi
penyalahgunaan wewenang di tubuh birokrasi alias korupsi. Di era Zu Rongji,
para perusak sendi-sendi ekonomi negara (koruptor) dihukum mati, bahkan ada
yang ditembak langsung. Pelanggar hukum dan penjahat ekonomi juga dihukum
berat. Dengan secara konsisten menerapkan kebijakan tersebut, tak ragu lagi
pemerintah China berhasil membuat jera koruptor, dan secara signifikan menekan
kejahatan korupsi.
Keseriusan memberantas korupsi juga dilontarkan
pendahulunya, Deng Xiaoping. Tiga tahun sejak penanganan modernisasi ekonomi
China, pada 10 April 1982, Deng mengkritik penanganan yang lembek bagi
koruptor, yang disebutnya sebagai penjahat ekonomi dan politik. Bagi Deng,
mentalitas ragu dalam mengambil tindakan tidak bakal bisa mensukseskan
reformasi birokrasi.
Meski hukuman mati belum menghentikan korupsi
sepenuhnya, tapi bukan berarti langkah itu gagal menendang habis koruptor dan
membuat mereka jera. Sekurang-kurangnya, keberhasilan itu tampak dari
menciutnya nyali koruptor, selain terciptanya tradisi birokrasi yang lebih
bersih. Jika dibandingkan, kondisi tersebut jelas berbeda dengan sebelum vonis
mati diterapkan. Jika vonis mati dinilai tak menjamin timbulnya efek jera,
bagaimana dengan vonis konvensional seperti denda atau penjara? Apalagi yang
cara yang seperti itu, langkah tegas dan nyata demi melumpuhkan nyali koruptor
amat mendesak saat ini.
Lalu apa salahnya hukuman mati diterapkan. Hukuman
mati amatlah penting dipertimbangkan untuk segera diberlakukan bagi koruptor
terpidana mati. Tak ada salahnya meniru pengalaman China dalam memberantas
korupsi. Jika aparat penegak hukum serius memberantas korupsi, yang sudah
demikian luar biasa, sekaranglah saatnya membuat jera koruptor. Vonis mati bagi
terpidana mati korupsi diperlukan demi keselamatan bangsa dan negara yang bebas
dari segala macam bentuk korupsi.
Komentar
Posting Komentar