Latar Belakang Gerakan 30 September
PKI
A.
Tampilnya
D.N. Aidit dalam Kepemimpinan PKI
Alam demokrasi liberal yang berlangsung
di Indonesia pada kurun waktu 1950-1959 memberikan kesempatan kepada PKI untuk
mengadakan rehabilitasi walaupun sebelumnya partai komunis itu telah melakukan
pemberontakan. Alimin mengakifkan kembali PKI pada 4 februari 1950. Akan tetpi,
kepemimpinan Alimin ini tidak berjalan lama karena pada Juli 1950 D.N. Aidit
yang melarikan diri ke luar negeri akibat pemberontakan PKI-Madiun kembali lagi
ke indonesia bersama M.H Lukman. Ketika mendarat di Tanjung Priok mereka
dibantu oleh Kamarusaman bin Ahmad Mubaidah alias Sjam, yang pada saat itu
mempunyai kedudukan sebgai salah seorang pimpinan buruh di Pelabuhan Tanjung
Priok.
Tindakan pertama D.N. Aidit adalah
menyatukan kembali seluruh potensial partai. Setengah tahun kemudian D.N. Aidit
berhasil mengambil alih kepemimpinan PKI dan mengintensifkan propaganda
untuk merehabilitasi nama PKI dengan mengeluarkan “Buku Putih” tentang
pemeberontakan Madiun. Bahkan, Alimin menuntut pengadilan dan penguburan
kembali tokoh-tokoh PKIyang dihukum mati akibat pemberontakan PKI-Madiun,
tetapi hal ini ditolak oleh pemerintah RI.
Kepemimpinan D.N. Aidit menjadi semakin
kuat setelah tokoh-tokoh muda lainnya, seperti Njoto dan Sudisman, bergabung.
Pada bulan Januari 1951 CC(Comitt Central) PKI memilih politbiro baru yang
terdiri atas D.N Aidit, M.H Lukman, Njoto, Sudisman dan Alimin.
Pemimpin-pemimpin baru inilah yang kemudian berhasil membangun kembali dan
mengembangkan PKI. Politbiro ini menjalankan Strategi Front Persatuan Nasional.
Sampai awal tahun 1952 Politbiro CC PKI memusatkan perhatian pada
perumusan taktik utama, bentuk perjuangan dan bentuk organisasi yang kemudian
diikuti oleh PKI dalam tahun-tahun berikutnya.
Awal tahun 1951 DN Aidit jugsa
merehabilitasi Mohammad Jusuf (orang yang pernah maha dikutuk oleh orang-orang
komunis karena tindakan penyelewengan garis partai dengan melakukan
pemberontakann melawan Pemerintah RI di bogor pada tahun 1946.) kemudian pada
bulan agustus 1951 PKI menggerakkan kerusuhan-kerusuhan di kota Jakarta dan
Bogor. Di Bogor banyak penduduk yang menjadi korban. Kabinet Sukiman melakukan
penangkapan dan penggeledahan dirumah- rumah para pemimpin PKI. Oleh PKI
peristiwa penangkapan dan penggeledahan ini disebut “ Razia Agustus 1951” dan
dianggap sebagai provokasi pemerintah Sukiman dalam mencari alasan untuk
membubarkan PKI. Akibat tindakan pemerintah itu, sejumlah besar pimpinan PKI
menjadi tahanan politik dan sebagian kecil melarikan diri. Dalam operasi
penangkapan ini D.N. Aidit berhasil lolos dan melarikan diri ke Moskow,
sedangkan PKI melaksanakan gerakan bawah tanah.
Tahun 1953 D.N. Aidit kembali ke
Indonesia dari Moskow. Ia muncul dengan konsep baru yang dikenal dengan “Jalan
Demokrasi Rakyat bagi Indonesia”. Melalui konsep ini D.N.Aidit sekaligus
menegaskan jalan yang revolusioner di samping cara-cara parlementer.
Dengan berdasarkan Marxisme-Leninisme
dan alanisis mengenal situasi kondisi Indonesia sendiri, CC PKI di bawah
pimpinan D.N.aidit menyusun program partai untuk mencapai tujuannya, yaitu
mengkomuniskan Indonesia. Adapun isi program tersebut adalah sebagai berikut.
a.
Membina front persatuan nasional yang berdasarkan persatuan buruh dan kaum tani.
b.
Membangun PKI yang meluas di seluruh negara dan mempunyai karakter massa
yang luas, yang sepenuhnya terkonsolidasi di lapangan idiologi, politik,
dan organisasi.
Dalam pelaksanaan membina font persatuan
nasional,PKI merasa perlu untuk membina apa yang mereka sebut borjuis
nasional dan borjuais kecil kota karena oleh PKI golongan-golongan
ini dinilai sebagai sebagai golongan yang tertekan oleh penghisap imperalis
asing. Pembinaan kedua golongan ini amat penting,di samping membina buruh dan
tani. Namun, PKI di bawah kepemimpinan D.N Aidit menaruh perhatian yang besar
kepada para tani untuk dapat dimanfaatkan dalam mewujudkan konsep Demokrasi Rakyat.
Dengan propaganda yang menarik dilancarkan bahwa petani harus merdeka,memiliki
tanah atau menyewa tanah ,dan menerima upah dengan harga yang sesuai dengan
yang di kehendakinya. Selanjutnya,D.N.Aidit berpendapat bahwa desa adalah
sunber bahan makanan, sumber prajurit revolusioner,sebagai tempat
menyembunyikan diri jika terpukul di perkotaan,dan sebagai basis untnk merebut
kembali perkotaan.
Dalam membangun PKI D.N.Aidit mengatakan
“ Kalau kita mau menang dalam revolusi, kalau kita mau mengubah wajah masyarakat
yang setengah jajahan menjadi Indonesia yang merdeka penuh, kalau kita mau
ambil bagian dalam mengubah wajah dunia, maka kita harus mempunyai partai model
partai komunis Uni Sofiet dan model partai komunis Cina”
Jadi, jelas disini bahwa titik tolak
strategi dan taktik PKI pada masa kepemimpinan D.N.Aidit ialah dengan memakai
model partai komunis Uni soviet dan model partai komunis Cina sekaligus,
disesuaikan dengan kondisi nyata di Indonesia.
B.
Aglitasi
dan Propaganda D.N. Aidit pada Masa Demokrasi Liberal, Tahun 1950-1959
Setelah D.N.Aidit memperoleh kesempatan
merehabilitasi PKI dalam alam demokrasi liberal, dia dan kawan-kawannya
mengambil kesimpulan bahwa untuk memperoleh kesempatan duduk dalam
pemerintahan, seperti pada masa sebelum pemberontakan PKI-Madiun, PKI perlu
mengadakan aliansi dengan kekuatan-kekuatan politik yang penting. Pada awal
tahun lima puluhan di Indonesia terdapat Partai besar, yaitu Partai Nasional
Indonesia ( PNI ) dan Majelis Syura Muslimin Indonesia ( MASYUMI ). Menurut jalan
pikiran PKI, yang potensial dan harus didekati adalah PNI.
Ketika kabinet Sukiman jatuh pada
tanggal 23 februari 1952 sebagai akibat persetujuan Mutual Security
Asct ( MSA ) dengan Amerika Serikat yang ditanda tangani oleh Menteri
Luar Negeri Mr.Achmad Soebardjo (Masyumi ), CC PKI mengeluarkan pernyataan
politik yang pada hakikatnya menawarkan kepada PNI untuk membentuk kabinet
tanpa Masyumi. Meskipun kemudian dalam kabinet baru yang dibentuk dibawah
pimpinan Mr. Wilopo ( PNI ) ternyata terdapat pula menteri-menteri dari
Masyumi, tetapi PKI tetap menyatakan dukungannya walaupun kecewa karena Masyumi
diikutsertakan.
Pernyataan dukungan PKI itu berisi
pembetitahuan kepada partai-partai pendukung kabinet bahwa PKI sedia mendukung
mereka dengan satu imbalan yang ringan, yaitu agar partai-partai politik
mengahpuskan kecurigaan dan sikap anti terhadap PKI beserta
organisasi-organisasi massanya ( ormas-ormasnya ). Upaya PKI tersebut beshasil
dan sejumlah pimpinan PNI mulai bekerja sama dengan PKI. Kerja sama itu
berpuncak pada usaha menjatuhkan kabinet Mr.Wilopo oleh PNI sendiri, meskipun
kabinet itu dipimpin oleh seorang tokoh PNI. Sebagai penyebabnya ialah
peristiwa Tanjung Murawa di Sumatra Utara, yakni insiden antara polisi dan
penyerobot tanah perkebunan milik Negara yang didukung oleh PKI. Peristiwa ini
merupakan kesempatan bagi PNI dan PKI untuk merongrong Gubernur Sumatra Utara,
Abdul hakim dan Menteri Dalam Negeri Mr.Moh.Roem, yang kedua-duanya dari
Masyumi. Akhirnya, kabinet Mr.Wilopo jatuh.
Setelah kabinet Mr.Wilopo jatuh PKI
mengeluarkan pernyataan yang menuntut pembentukan kabinet baru sesuai dengan
Font Persatuan yang di dalamnya termasuk PKI, tetapi tanpa Masyumi dan Partai
Sosialis Indonesia (PSI). Krisis kabinet berlangsung agak lama dan beberapa formatur
telah menemuai kegagalan. Dalam pernyataan berikutnya, PKI meniadakan
tuntutanya untuk duduk di dalam kabinet baru. Setelah satu bulan, terbentuknya
kabinet baru dibawah pimpunan Mr.Ali Sastroamidjojo ( PNI ) dengan
menteri-menteri dari berbagai partai kecil, tetapi tanpa Masyumi dan PSI.
Kabinet ini disebut kabinet Mr.Ali Sastroamijojo 1. Dan pernyataan PKI setelah
mendukung kabinet itu disebutkan bahwa kabinet itu sebagai suatu “Kemenangan
gemilang daripada demokrasi terhadap fasisme”.
Selama masa pemerintahan kabinet Mr.Ali
Sastroamijojo 1, PKI memberikan dukungannya secara gigih pada PNI. Walaupun
diketahui oleh umun bahwa kabinet tersebut tidak berhasil mengatasi kesulitan
ekonomi yang dihadapi bangsa Indonesia, tetapi PKI tetap membela kabinet Mr.Ali
Sastroamijojo I. Setiap kali kabinet terrancam perpecahan dari dalam, PKI
mengadakan pembelaan yang keras untuk kabinet dan menyerang kelompok-kelompok
yang hendak menjatuhkannya.
Posisi PKI menjadi semakin mantap berkat
aglitasi dan propaganda D.N. Aidit yang intensif sehingga pada Pemilihan
Umum tahun1955 PKI berhasil mengumpulkan enam juta suara pemilih. Dengan hasil
yang dicapainya itu, PKI masuk salah satu dari empat besar setelah PNI,
Masyumi, dan Nahdatul Ulama(NU). Meskipun PKI mendapat suara yang cukup besar
dalam Pemilu, namun PKI tidak berhasil duduk dalam kabinet yang terbentuk
setelah pemilu tersebut.
Dalam suasana ysng kurang menguntungkan
bagi PKI tersebut, presiden Soekarno secara terbuka menyatakan keinginannya
agar PKI diikutsertakan dalam kabinet. Presiden Soekarno berpendapat bahwa PKI
perlu dikutsertakan dalam kabinet karena partai itu telah berhasil tampil
sebagai salah satu dari empat partai besar dalm pemilu. Akan tetapi, keinginan
presiden tidak terwujud karena kabinet yang terbentuk adalah kabinet koalisi
antara PNI-Masyumi-NU. Kabinet yang tersusun setelah pemilu ini dinamakan
Kabinet Mr. Ali Sastroamidjojo II. Walaupuin gagal, sikap Presiden
Soekarno tersebut telah banyak menolong PKI dalam proses perkembangan politik
Indonesia selanjutnya.
Keadaan yang dihadapi kabinet Mr. Ali
Sastroamidjojo II memang sulit, apalagi setelah Drs. Moh. Hatta mengundurkan
diri dari jabatannya sebagai Wakil Presiden pada bulan Desember 1956.
Berpisahnya Dwitunggal Soekarno-Hatta ini merupakan
perkembangan yang menguntungkan bagi PKI karena setelah itu PKI lebih leluasa
geraknya didalam upaya menarik Presiden Soekarno agar lebih dekat lagi kepda
PKI.
Kemenagan yang dicapai PKI dalam Pemilu
1955 sebagai hasil aglitasi dan propaganda D.N. Aidit sungguh sesuatu yang luar
biasa, jika diingat kembali bahwa tujuh tahun sebelumnya PKI pernah
mengkhianati perjuangan bagsa Indonesia. Dengan kemenangan itui, PKI berusaha
kembali untuk mewujudkan tujuan politiknya yang telah gagal mereka capai pada
tahun 1948, yakni membentuk negara lain masyarakat komunis yang sebenarnya
tidak dikenal dalam kehidupan bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila.
Untuk mencapai tujuan politik tersebut, PKI melakukan langkahnya dengan cara
menanamkan pengaruhnya diberbagai bidang kehidupan kenegaraan, bauki dibidang
ideologi, politik maupun dibidang militer.
Dibidang ideologi, PKI telah melancarkan
upaya perubahan yang mendasar terhadap pancasila. PKI berusaha mengganti sila
pertama dari pancasila, yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan rumusan
“kemerdekaan beragama”, seperti yang dikemukakan oleh Njpto dalam sidang-sidang
Konstutuante tahun 1958. Menurut PKI tidak semua masyarakat Indonesia beragama
monotheis, banyak di antaranya yang beragama politheis, bahkan ada yang tidak berahgama
sama sekali. Jelaslah bahwa sejak semula PKI sudah berusaha untuk mengganti
Pancasila dengan paham lain.
Dibidang politik dan milter, PKI
menyusun strategi politiknya dalam Kongres V yang diselenggarakan tahun 1954.
Strategi politik itu mereka sebut Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan
(MKTBP). Salah satu sasaran dari strategi ini adalah menanampakn paham
komunisme dikalangan anggota-anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ABRI)sebgai kekuatan sosial politik yang menentang PKI.
Disamping berkembangnya pengaruh PKI,
ketidakpuasan yang melahirkan ketegangan-ketegangan politik terus meningkat.
Dengan alasan untuk menyelamatkan negara dan bangsa dari perpecahan, Soekarno
yang telah berhasil didekati oleh PKI melontarkan sebuah konsepsi yang
disampaikannya pada tanggal 21 Februari 1957 dalam pidatonya yang berjudul
“Menyelamatkan Republik Indonesia”, yang kemudian dikenal sebagai
“Konsepsi Presiden”. Dalam gagasan itu Presiden mengemukakan konsep politik
yang disebut Demokrasi terpimpin. Dalam rangka melaksanakan konsep tersebut
Preisden mengusulkan pembentukan kabinet Gotong Royong dan Dewan Nasional, yang
didalamnya duduk wakil-wakil parpol dan semua golongan fungsional. Preiden
Soekarno menghendaki agar orang-orang PKI duduk dalam kabinet dan Dewan
Nsioanal tersebut walaupun beliau belum mengetahui bahwa banyak partai politik
yang tidak menyetujui gagasannya. Bagi PKI, keinginan Presiden Soekarno itu
sangat menguntungkan,. Oleh karena itu, PKI segera menyatakan dukunhgannya,
terutama mengenai pembentukan kabinet Gotong Royong dan pelaksanaan Demokrasi
Terpimpin. Dengan terbentuknya pemerintahan koalisi nasional, dan melalui
pemerintahan koalisi nasional itulah akan dapat diwujudkannya Front
Persatuan Nasional, yaitu adanya organisasi-organisasi yang bersimpati dan
mendukung PKI.
C.
Kedudukan Strategis PKI pada Masa Demokrasi Terpimpin, Tahun 1959-1965
Konstituante hasil pemilu 1955 tidak
berhasil menyusun Undang-undang dasar baru sebagai Undang-Undang Dasar
Sementara (UUDS). Ketidakberhasilan itu disebabkan oleh adanya perbedaan
pendapat yang tajam mengenai dasar negara di antara anggota-anggota
konstituante. Untuk mengatasi kemacetan di dalam Dewan Konstituante, Presiden
Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan dekrit kembali ke UUD 1945. Isi
dekrit presiden 5 Juli 1959 adalah sebagai berikut:
a. Bubarkan
Konstituante
b. Belakunya
kemabali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950
c. Pembentukan
MPRS dan DPAS
Penjelasan mengenai Dekrit Presiden 5
Juli 1959 tersebut disampaikan dalam pidatonya yang berjudul “Penemuan Kembali
Revolusi Kita”, yang di ucapakan tanggal 17 Agustus 1959.
Presiden Soekarno selanjutnya meminta
kepada Dewan Pertimbangan Agung (DPA) agar isi pidato tersebut dirumuskan
menjadi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Yang memimpin Panitia Kerja
Dewan Pertimbangan Agung itu adalah D.N. Aidit, ketua CC PKI. Kesempatan itu
dimanfaatkannya untuk memasukkan program-program PKI kedalam GBHN, yang
kemudian dikenal sebagai “Manifesto Politik (manipol) RI”. D.N. Aidit berusaha
memanfaatkan kedudukannya itu untuk merumuskan isi manipol sesuai dengan thesis
revolusi PKI, yaitu “Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia (MIRI)” yang
diruskan PKI tahun1957, dua tahun sebelum Presiden mengucapkan pidato “Penemuan
Kembali Revolusi Kita”. Meskipun upaya PKI untuk mendominasi isi manipol sesuai
dengan konsep MIRI mendapat hambatan yang gigih dari tokoh-tokoh anti komunis
di DPA, namun konsep manipol akhirnya disetujui Presiden.
Keleluasaan PKI semakin bertamabah
ketika Presiden membentuk Front Nasional. Pembentukan Front Nasional tersebut
semula dimaksudkan sebagai penggerak masyarakat, tetapi dalam kenyataannya
menyimpang dri tujuan tersebut karena badan itu menjadi sasaran penggarapan PKI
untuk dibawa kedalam strategi Front Persatuannya. PKI bersusaha membawa Font
Nasional menjadi alat politiknya dengan cara memanfaatkan organisasi-organisasi
massa, yang menjadi anak organisasi PKI atau yang sudah dipengaruhi PKI.
Pertengahan tahun 1960 PKI mencoba
kekuatannya untuk menghadapi TNI-AD dengan melancarkan kritik dan tuduhan
bahawa TNI-AD tidak bersungguh-sungguh dalam menumpas pemberontakan
PRRI/Permesta (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat
Semesta). Bersama dengan dilancarkannya kritik dan tuduhan tersebut, PKI melakukan
pengacauan di beberapa daerah, seperti di sumatera Selatan, Kalimantan Selatan,
dan Sulawesi Selatan. Pimpinan TNI-AD menilaia bahwa kritik dan tuduhan itu
adalah upaya untuk mengacau keadaan, apalagi dengan adanya bukti terjadinya
kekacauan oleh PKI di beberapa daerah tersebut. Untuk itu, TNI-AD melalui
wewenagnya selaku Penguasa Perang Daerah (Peperda) menghentikan dan memebekukan
berbagai kegiatan PKI atas dasar Undang-Undang Keadaan Bahaya yang sedang
berlaku pada saat itu. Oleh Perpeda dilakuikan pula penangkapan dan pemeriksaan
terhadap tokoh-tokoh PKI, serta melarang media massa PKI terbit dan beredar.
Dan menyapaikan kepada preisden agar tidak percaya terhadap loyalitas PKI,
tetpai preisden tidak mengindahkannya, bahkan sebaliknya beliau memperingatkan
TNI-AD supaya fobi (perasaan takut terhadap sesuatu tanpa sebab tertentu)
terhadap PKI.
Keberhasilan PKI secara politik semakin
memperkuat PKI untuk memperbesar dan mancapai cita-citanya. Untuk memperoleh
perimbangan kekuatan, PKI melukan “ofensif manipolis”, Kemudian dirngkatkan
menjadi “ofensif revolusioner”, yang ditujukan kepada semua kekuatan sosial
politik yang tidak mereka senangi. Selain itu, PKI berusaha pula merangkul
golongan lain yang kiranya dapat dijadikan “kawan”, Seperti Pertindo dan mensyusupi
PNI melalui Ir.surachman, yang ketika itu menjabat sebagai Sekjen DPP PNI.
Tahun 1964 intensitas ofensif
revolusioner PKI terhadap tokoh-tokoh politik yang dianggap sebgai lawannya
makin ditingkatkan. Secara intensif PKI melancarkan tuduhan kontra revolusi
terhadap lawan-lawan politik mereka. Posisi PKI semakin kuat dengan dibentuknya
kabinet Dwikora pada tanggal 27 Agustus 1964, yang didalamnya duduk beberapa
tokoh PKI Sebagai Menteri Koordinator (Menko) dan menteri. Pembentukan Komando
Tertinggi Retrooling Aparatur Negara ternyata sejalan dengan PKI, karena
itu pembentukan ini mereka sambut dengan tangan terbuka. Namun, ABRI tidak
tinggal diam, dan terus mengawasi gerak-gerik PKI. Bagi PKI tidak ada cara
lain untuk kabur dari pengawasan tersebut, kecuali dengan melancarkan
fitnah dan kampanye menjelek-jelekkan Jendral A.H. Nasution sebagai seorang
tokoh ABRI yang dikatakannya ingin menyabotase Nasakom.
Sementara itu, pada tahun 1963 tersiar
adanya dokumen CC PKI yang berisi program rahasia yang berjudul “Resume Program
dan Kegiatan PKI Dewasa Ini”. Pragram itu berupa program jangka pendek yang
berisis penilaian situasi dan rencana aksi untuk mewujudkan tujuan akhir PKI.
Dokumen rahasia itu diketemukan oleh anggota Partai Murba. Oleh Wakil Perdana Menteri
III, Dr. Chaerul Saleh, seorang tokoh Partai Murba, dokumen itu diserahkan
kepada ketua umum DPP PNI, Mr. Ali Sastroamidjojo. Selnjutnya, dokumen itu
dipaparkan dalam sidang kabinet pada awal Desember 1964. PKI membantahnya dan
dengan berbagai dalih mengatakan bahwa dokumen tersebut adalah dokumen palsu,
buatan kaum Trotskyst yang dibantu kaum Nekolim berusaha untuk
menghancurkan PKI. Tersiarnya dokumen rahasia itu menyebabkan ketegangan
Politik makin meningkat karena partai-partai lain mencurigai OKI. PKI tetap
meyakinkan kepada Presiden bahwa dokumen itu palsu. Untuk meredam ketegangan,
Presiden memanggil para pemimpin partai ke istana Bogor dan memerintahkan
nmereka menyusun sebuah rumrusan menyelesaikan masalah persengketaan antar
partai. Pada tanggal 12 Desember 1964 sepuluh paarpol menandatangani sebuah
deklarasi yang disebut deklasi Bogor. Deklarasi itu drianggap sebagai cetusan
kebulatan tekad partai-partai dihadapan Pemimpin Besar Revolusi, Bung Karno.
Soal dokumen rahasia tidak disebut-sebut dalam deklarasi tersebut dan dengan
demikian masalahnya doianggap selesai.
D.
PKI
Melaksanakan Tindakan Peningkatan Situasi Ofensif Revolusioner
Setelah penyusupan kader-kader PKI ke
dalam tubuh aparatur negara, termasuk ABRI, organisasi Politik, dan Oraganisasi
kemasyarakatanmencapai taraf yang oleh PKI dinilai cukup kuat, maka PKI mulai
melaksanakan kegiatan yang mereka sebut sebagai tahap ofensif revolusioner, hal
tersebut meliputi:
1.
Sabotase,
Aksi Sepihak dan Aksi Teror
Upazya PKI,untuk menciptakan suasana
revolusionr, selain dilakukan melalui kegiatan-kegiatan politik yang menghebat,
juga melalui kegiatan-kegiatan sabotase, aksi sepihak dan
teror.kegiatan-kegiatan tersebut antara lain adalah:
a.
Tindakan Sabotase terhadap Transportrasis Umum Kereta Api oleh Serikat
Buruh Kereta Api
Tindakan sabotase yang dilakukan kaum
Komunis terhadap sarana-sarana penting Pemerintah mulai terlihat sejak bulan
Januari 1964 rangkaian kereta api rute selatan melanggar sinyal dan langsung
masuk stasiun purwokerto, jawa tengah sehingga menabrak rangkaian gerbong yang
berhenti di stasiun tersebut. Tanggal 6 Februari 1964, kasus tabrakan antara
dua rangkaian Kereta Api juga terjadi di Kallyasa, Sala, Jawa Tengah. Pada
tanggal 30 April 1964, peristiwa yang sama terjadi di Kroya, Jawa Tengah.
Tanggal 14 Mei 1964 di Cirebon dan Semarang, serta tanggal 6 Juli 1964 di
Cipapar, Jawa Barat.
Menyususul kemudian beberapa kasus lepas
dan larinya gerbong-gerbong dari rangkaian lokomotifnya di Tanah Abang
tanggal 18 agustus 1964, di Bandung tanggal 31 Agustus 1964, Tasikmalaya
tanggal 11 Oktober 1964. Seminggu kemudian tanggal 18 Oktober 1964 di daerah
yang sama yaitu Tasikmalaya terjadi kasus kecelakaan yang menimpa 20 rangkaian
gerbong KA yang mengangkut peralatan Militer.
Dari hasil interogasi oleh aparat
keamanan menunjukkan bahwa kasusu-kasus yang terjadi merupakan tindakan
kesengajaan (sabotase) yang bertendensi politik. Para pelaku adalah anggota
Serikat Buruh Kereta Api(SBKA) yang merupakan organisasi yang berada dibawah
naungan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).
a.
Aksi-Aksi
Sepihak BTI (Barisan Tani Indonesia)
Pada
tanggal 23 Mei 1964, setelah kegiatan HUT ke-44 PKI yang dilaksanakan di
Semarang , ketua CC PKI D.N Aidit serta 58 tokoh PKI termasuk didalamnya Himpunan
Sarjana Indonesia (HSI) yang terpengaruh oleh PKI mengadakan gerakan Turba
(Turun Kebawah) yang sekaligus melakukan penelitian yang bertujuan untuk
membuktikan bahwa petani di daerah Jawa sangat miskin dan sangat potensial
untuk digerakkan mendukung program PKI melalui aksi-aksi melawan tuan tanah di
desa-desa.
Untuk
dapat mempengaruhi para petani tersebut, PKI berpura-pura membantu mereka
dengan cara melakukan kampanye penuntutan Undan-undang Bagi hasil tanah
pertanian. Sejalan dengan kampanye tersebut, untuk memepertajam pertentangan
kelas sesuaia dengan doktrin Marxisme-Leninisme. PKI mengkampanyekan pula sikap
anti “Tujuh Setan Desa” yaitu; tuan tanah, lintah darat, tengkulak, tukan
ijon, kapitalis birokrat (kabir), bandit desa dan pemungut/pengumpul zakat.
Dalam melaksanakan kampanye melawan “Tujuh Setan Desa”, PKI dengan gencar
melakukan aksi massa dan aksi sepihak secara sistematis dan terencana, aksinya
antara lain:
1.
Aksi Massa BTI di Jawa Tengah
Kasus
peratama yang mengawali aksi massa oleh BTI adalah terjadinya konflik
fisik anttara kurang lebih 1000 orang sesama petani di desa Kingkang, Kecamatan
Wonosari, Kabupaten Klaten pada tanggal 26 Maret 1964. Atas hasutan tokoh-tokoh
PKI setempat ratusan massa BTI melakukan pengeroyokan terhadap seorang
petani yang bernama Partosoekardjo sehubungan dengan sewa-menyewa dengan
Kartodimedjo.
2.
Aksi Massa BTI di Jawa Barat
Kemudian
rentetan aksi BTI berikutnya terjdi di area kehutanan milik negara di hutan
Karticala dan tugu, kabupaten indramayu. Pada tanggal 15 dan 16 Oktober 1964
terjadi pengeroyokan dan penganiayaan terhadap 7 anggota polisi kehutanan, yang
menjaga perkebunan milik negara.
3. Aksi
Massa BTI di Jawa Timur
Pada
tanggal 15 Januari 1965 terjadi gerakan aksi massa yang dilakukan oleh BTI di
desa Gayam, Kediri.sekitar 1000 orang anggota BTI menyerbu dan menganiaya
seorang petani bernama Soedarno yang sedang mengerjakan lahan sawahnya dengan
alasan sawah yang dikerjakan oleh Soedarno adalah sawah sengketa.
c. Aksi-aksi
Teror
1.
Peristiwa Kanigaro Kediri
Tanggal
13 Januari 1965 sekitar pukul 04.30 massa anggota PKI yang di pimpin oleh Ketua
Pengurus Cabang Pemuda Rakyat Daerah Kediri, Soerdjadi, mengadakan teror dengan
melakukan penyerbuan terhadap para aktivis Pelajar Islam Indoneisa (PII) yang
sedang mengadakan pelatihan mental di desa Kanigoro, Kediri. Pada kesempatan
itu PKI/PR melakukan pemukulan dan penganiayaan terhadap para Kyai dan
Imam masjid serta merusak rumah ibadah bahkan menginjak-injak kitab suci
Al-Qur’an.
2. Aksi Massa dan Demonstrasi Anti Amerika
Awal Desember 1964 sejumlah massa
pendukung PKI mengadakan demonstrasi untuk memprotes kehadiran dan kegiatan
Kantor Penerangan AS, United States Information Services(USIS) di seluruh
indonesia. Dalam aksi massanya, mereka menghancurkan perpustakaan USIS yang
berada di Jakarta dan Surabaya. Pada tanggal 11 Desember 1964, Wakil Ketua Umum
Panitia Aksi Pembikotan Film Amerika Ny. Oetami Soeryadarma menuntut
agar American Motion Pictures association Of Importers (AMPAI)dibuabarkan.
Untuk memperkuat tuntutan tersebut pada tanggal 28 Februari 1965 sejumlah
massa PKI berdemonstrasi didepan ksiaman Dubes AS, Howard P. Jones seminggu
kemudian Gerwani mengirim telegram kepada Presiden dan Menlu Dr. Soebnandrio
agar menyatakan Pesona non Gatra terhadap direktur AMPAI, Bill Palmer, dan
sekaligus mengusirnya dari Indonesia.
Dua minggu setelah peristiwa di kantor
AMPAI Jalkarta, pada tanggal 1 April 1965 seluruh massa pendukung PKI menyerang
villa milik Direktur AMPAI di tugu puncak, Bogor meskipun Bill Palmer
tidak ada dikediamannya saat itu.
d.
Agitasi
dan Propaganda
Rangakaian aksi Massa PKI dalam rangka
menciptakan situasi ofensif revolusioner lebih di tingkatkan lagi melalui
aglitasi dan Propagandadengan tujuan untuk lebih membakar emosi massa. Dalam
upaya tersebut, PKI menggunakan unsur pers ysng sudah didominasi PKI, antara
lain Kantor Berita antara dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Melalui
tokoh-tokoh utamanya, PKI membangkitkan semangat progresif revolusioner dengan
melakukan pidato-pidato di segala forum kegiatan, baik pemerintahan maupun non
pemerintahan.
Slogan politik tentang keterlibatan PKI
dan mewarnai kehidupan politik dimana-mana sehingga gamabaran apa yang di sebut
sebagai situasi ofensif revolusionerbenar-benar snagat mendominasi kohidupan
sosial-politik mkasyarakat saat itu. PKI juga memanfaatkan program pendididkan
kader revolusi dan kader Nasakom yang diselenggarakan oleh pemerintah melalui
Front Nasional.
Keadaan
politik Indonesia semakin memanas akibat adanya konfrontasi dengan Malaysia
yang dianggap sebagai proyek nekolim (Neokolonialisme dan Imperialisme) oleh
Presiden Soekarno. Hal ini dimanfaatkan oleh PKI untuk dapat memperkuat diri.
PKI menerapkan ajaran Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis) ke badan
pemerintahan, termasuk di dalamnya ABRI. Tanggal 14 januari 1965, D.N Aidit
menuntut untuk mempersenjatai kaum buruh dan petani dengan alasan untuk
menghancurkan Nekolim.
Tuntutan PKI
ditampung oleh Front Nasional. PKI mengusulkan pembentukan Angkatan Lima yang
terdiri dari kaum buruh dan tani, serta berdiri sendiri lepas dari ABRI.
Tanggal 17 Januari 1965, diadakan pertemuan yang membahas untuk melatih dan
mempersenjatai soko guru revolusi (kaum buruh dan tani) untuk menghadapi
Nekolim. Namun, usul ini ditolak oleh Angkatan Darat karena akan menimbukan
rasa saling curiga antara militer dengan PKI.
1. Aksi
Fitnah Terhadap Pimpinan TNI-AD tahun 1965
Setelah PKI secara politis berhasil
memperlemah lawan-lawannya, baik parpol, ormas maupun perorangan, maka tinggallah
satu kekuatan sebagai penghambat utama bagi pelaksanaan program politiknya,
yaitu ABRI, khususnya TNI-AD. Karenanya PKI menyusun konsep-konsep kegiatan
yang bertujuan melemahkan posisi pimpinan TNI-AD. Diantaranya dengan melakukan
fitnah politik yangditujukan kepada TNI-AD
2. Isu
Dewan Jendral
Dalam rangka memperburuk citra TNI-AD,
PKI melancarkan isu Dewan Jendral. Isu ini disebarluaskan melalui anggota anggota
PKI yang aktif bekerja dalam berbagai lingkungan. Agar isu ytersebut sampai
kepada Presiden, maka salah seorang anggota PKI yang duduk dalam DPR-GR bernama
Soedjarwo Harjowisastro memberikan isu tersebut sebagai informasi kepada Kepala
Staf BPI (Badan Pusat Intelijen), Brigjend Pol Soetarto yang juga merupakan
anggota PKI.
Dikatakan bahwa Dewan Jendral terdiri
atas sejumlah Jendral TNI-AD, antara lain Jendral TNI A.H. Nasution, Letjend
TNI A. Yani, Mayjend TNI Soeprapto, Mayjend TNI S. Parman, Mayjend TNI Haryono
M.T, Brigjend TNI Sutoyo S, Brigjend TNI D.I Pandjaitan, dan Brigjend TNI Sukendro
yang mempunyai sikap antipati terhadap PKI.
Isu Dewan Jendral terus dilakukan dalam
bentuk desas-sesus yang memperburuk citra TNI-AD, dan seolah-olah Dewan Jendral
adalah kelompok Perwira Tinggi TNI-AD yang tidak loyal kepada Presiden dan
mempunyai kegiatan politik menilai kebijaksanaan Presiden.
Oraganisasi-organisasi yang bernaung dibawah PKI digunakan sebagai sarana untuk
menyebar luaskan isu tersebut, dan mulai terdengar bulan Mei 1965.
Lingkup
penyebaran isu Dewan Jendral adalah sebagai berikut:
Penyebarluasan isu yang menyatakan
tentang adanya Dewan Jendral didalam tubuh TNI-AD yang mempunyai tugas
khusus memikirkan usaha-usaha dalam rangka menghadapi kegiatan yang bersifat
“kiri”. Dengan isu tersebut, PKI ingin menciptakan kesan bahwa TNI-AD merupakan
kekuatan yang bersifat “Kanan” yang anti PKI.
Diisukan bahwa Dewan jendral yang
disebut sebagai kekuatan kanan yang tidak loyal kepada Pemimpin Besar Revolusi
dan mempunyai tujuan yaitu menilai kebijaksanaan Presiden selaku Pemimpin Besar
Revolusi. Pada lingkup ini PKI ingin memberi kesan bahwa Dewan Jendral adalah
sebuah badan dalam TNI-AD yang tidak dapat dijamin loyalitasnya kepada BPR.
Tujuannnya adaah menhgadu domba antar TNI-AD dengan Presiden
Diberitakan Dewan Jendral
bekerjasama dengan imperalis, dalam rangka upaya PKI meyebarluaskan kesan
kepada masyarakat seolah-olah TNI-AD telah mengkhianati perjuangan rakyat
Indonesia. Isu ini semakin berkembang dengan tersiarnya “dokumen Gilchirst” pad
bulan Mei 1965
Pada sekitar awal bulan september 1965
dilancarkan isu bahwa Dewan Jendral akan merebut kekuasaan dari presiden
Soekarno dengan memanfaatkan pengerahan pasukan dari daerah uang didatangkan ke
Jakarta dalam rangka peringatan HUT ABRI pad tanggal 5 Oktober 1965. Kemudian,
untuk lebih meyakinkan masyarakat mengenai kebenarannya, PKI telah menciptakan
Isu Kabinet Dewan Jendral sebgai berikut:
1)
Perdana
Menteri
:Jendral TNI A.H. Nasution
2)
Wakil PM/Menteri Pertahanan : Letjend TNI A. Yani
3)
Menteri Dalam
Negeri
: Hadisubeno
4)
Menteri Luar
Negeri
: Roeslan Abdulgani
5)
Menteri Hubungan Dagang LN: Brigjend TNI Sukendro
6)
Menteri Jaksa
Agung
: Mayjend S. Parman
Dalam rangka menyiapkan Gerakan 30
September, biro khusus secara intensif mempengaruhi iknum-oknum anggota ABRI
yang telah dibinanya dengan Brifing-Brifing situasi politik, yang intinya :
1. Ada
Dewan Jendral yang akan mengadakan perebutan kekuasaan dari Presiden
2. Perlu
ada gerakan m iliter untuk mendahului rencana Dewan Jendral tersebut
Bentuk pengembangan isu Dewan Jendral
menjadi rencana matang akan adanya perwira-perwira yang berpikiran maju
mendahului rencana Dewan Jendral.
3. Isu
Dokumen Gilchrist
Bersamaan dengan
penyebarluasan isu Dewan Jendral tersiar pula isu adanya Dokumen
Gilchrist. Gilchrist, yang bernama lengkap Sir Andrew Gilchirst adalah duta
besar Inggris di jakarta yang bertugas pada tahun 1963-1966.Dokumen
Gilchrist diterima oleh Dr. Soebandrio pada
tanggal 15 Mei 1965 melalui pos jakarta berupa sebuah konsep surat ketikan
tanpa adnya tanda tangan atau paraf si pembuat melainkan hanyalah sebuah nama Gilchrist .
dalam surat pengantarnya dituliskan bahwa apa yang disebut surat Gilchrist itu
diperoleh dari rumah peristirahatan William (Bill) Palmer di
puncak sewaktu diadakan pengobrak-abrikan oleh massa atas rumah
gtersebut.
Isi
dari dokument tersebut adalah sebagai berikut
THE
GILCHRIST DOCUMENT
MAHKAMAH MILITER LUAR
BIASA Turunan
Perkara H. Dr. Subandrio March 24, 1965
Perkara H. Dr. Subandrio March 24, 1965
Draft
Telegram to: Security classification, if any:
FOREIGN OFFICE TOP SECRET, PERSONAL
Telegram to: Security classification, if any:
FOREIGN OFFICE TOP SECRET, PERSONAL
Addressed to FOREIGN
OFFICE,
FOR SIR HAROLD CACCIA
Telegram No……... Date:
March 24, 1965
I
discussed with the American Ambassador the
questions set out in your No.:67786/65.
The Ambassador agreed in principal with our position but
asked for time to investigate certain aspects of the matter.
To my question on the possible influence of Bunker's visit,
to Jakarta, the Ambassador stated that he saw
no reason for changing our joint plans. On the contrary, the visit of the US.
President's personal envoy would give us more time to prepare the operation the
utmost detail.
The Ambassador felt
that further measures were necessary to bring our efforts into closer
alignment. In this connection, he said that it would be useful to impress again
on our local army friends that extreme
care discipline and coordination of action were essential for the success of
our enterprise.
I promised to take all necessary measures. I will
report my own views personally in due course.
GILCHRIST
Pada tanggal 26 Mei 1965 Dr. Soebandrio membawa konsep Gilchrist serta
beberapa salinannya ke Istana Merdeka dan melaporkannya kepada Presiden.
Segera setelah membaca surat tersebut,
presiden memerintahkan pemanggilan para panglima Angkatan kedalam Istana Negar.
Dalam pertemuan tersebut menaggapi pertanyaan Presiden, Men/Pangad Letjend A.
Yani menerangkan bahwa dalam AD tidak ada Dewan Jendral yang bertugas menilai
kebijaksanaan politik presiden; yang ada adala Dewan Jabatan dan Kepangkatan
Tinggi (Wanjakti) AD, yang bertugas memberikan saran atau pendapat kepada
Men/Pangad tentang jabatan dan Kepangkatan Perwira Tinggi AD.
Dalam pidatonya pada HUT PKI ke-45, Dr.
Soebandrio menyatakan bahwa dokumen imperialis/CIA telah jatuh ketangan kita
dan sekarang berada di tangan PBR(Pemimpin Besar Revolusi). Olehnya kemudian
salinan Dokumen Gilchrist itu kemudian dibagi-bagikan di luar negeri,
antara lain kepda delegasidelegasi yang hadir pad KAA II di Aljazair, sedangkan
didalam negeri salinan surat tersebut disebarluaskan oleh BPI(Badan Pusat
Intelijen). Sementara itu, HUT PKI dirayakan secara besar-besaran dengan
puncaknya pada rapat raksasa di gelora senayan tanggal 23 Mei 1965. Peringatan
secara besar-besaran ini merupakan suatu pameran kekuatan yang dilakukan
ditengah suasana politik yang semakin memanas.
Komentar
Posting Komentar