SAATNYA GURU “DIGUGU dan DITIRU”
Oleh : Herman Rahma Wanto
(3301413085)
Digugu lan ditiru,
itulah falsafah dalam bahasa jawa yang menggambarkan bagaimana seharusnya
menjadi seorang guru yaitu digugu artinya segala sesuatu yang disampaikan
olehnya senantiasa dipercaya dan diyakini sebagai kebenaran oleh semua murid. Ditiru
artinya harus bisa menjadi teladan bagi sekelilingnya terlebih khusus bagi
murid – muridnya. Sehingga kepribadian seorang guru haruslah menjadi apa yang
dapat dicontoh oleh murid – muridnya.
Namun
dewasa ini nampaknya falsafah tersebut hanyalah menjadi peribahasa kuno yang
ketinggalan zaman dan seolah – olah hilang dalam kepribadian dan jiwa para guru.
Banyak kita lihat guru yang tidak memiliki kepribadian yang baik, bahkan
menjadi pendidik yang kasar dan keras dengan perilaku yang tidak layak
dijadikan sebagai panutan.
Akhir – akhir ini sering kita dengar seorang
oknum guru mencabuli muridnya sendiri dan melakulan pelecehan seksual seperti
yang terjadi di salah satu sekolah internasional di jakarta. Lalu ada guru
yang melakukan tindak kekerasan
kekerasan pada muridnya dengan menggigit hidung muridnya hanya karena masalah
sepele. Lalu ada juga guru yang menggunakan narkoba seperti yang baru – baru
ini menimpa guru besar Unhas. Bahkan dari hal kecil seperti merokok
dilingkungan sekolah merupakan hal yang sangat memalukan.
Jika
demikian lalu dimana jati diri seorang guru yang selama ini dikenal sebagai sosok
yang patut digugu dan ditiru oleh murid – muridnya. Guru seperti kehilangan
karakter, jika gurunya saja seperti itu tentu kita bertanya – tanya lalu
bagaimana dengan murid – muridnya ?
Alhasil
murid – muridnya pun menjadi pemuda yang kehilangan karakter dan jati diri
serta kehilangan sosok panutan. Tidak heran jika siwa sekarang banyak terjerat
hal negatif seperti tawruan pelajar, seks bebas dan pelacuran, penyalahgunaan
narkoba dan masih banyak lagi.
Pada
tahun 2013 saja Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat ada 255 kasus tawuran
antar-pelajar di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 20 pelajar meninggal dunia,
saat terlibat atau usai aksi tawuran, sisanya mengalami luka berat dan ringan. para
pelajar nampaknya telah lupa bahwa dirinya adalah pelajar bukan para preman.
Baru
– baru ini kita juga mendengar kasus
yang menimpa siswi sebuah SMP di Surabaya dimana dia menjadi mucikari sekaligus
memberdayakan temen – temanya. Sungguh sangat mencengangkan dimana Komisi
Nasional Perlindungan Anak juga pernah merilis data hasil survei di 12 kota
besar di Indonesia pada tahun 2007, dimana 62,7% remaja yang duduk di bangku
SMP (Sekolah Menengah Pertama) pernah berhubungan intim dan 21,2% siswi SMA
(Sekolah Menengah Atas) pernah menggugurkan kandungannya. Menurut data lain dari
BKKBN tahun 2013, anak usia 10-14 tahun
yang telah melakukan aktivitas seks bebas atau seks atau seks di luar nikah
mencapai 4,38 persen, sedang pada usia 14-19 tahun sebanyak 41,8 persen telah
melakukan aktivitas seks bebas. Data
lain mengatakan bahwa tidak kurang dari 700.000 siswi melakukan aborsi setiap
tahunnya. Sangat mencengangkan tentunya degradasi moral sudah sedemikian
besarnya.
Selain
itu yang paling menjadi sorotan adalah kasus penyalahgunaan narkoba yang
nampaknya sudah menjadi kasus kontemporer yang sangat sulit untuk dibrantas. Badan
Narkotika Nasional (BNN) menyatakan, sebanyak 22 persen pengguna narkoba di
Indonesia dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Hasil survei BNN di tiap-tiap
universitas dan sekolah pada 2011 itu ditaksir bisa lebih besar lagi saat ini,
mengingat adanya tren peningkatan pengguna narkotika. Artinya dari empat juta
orang di Indonesia yang menyalahgunakan narkoba, 22 persen di antara atau
sekitar delapan ratus delapa puluh ribu diantaranya merupakan anak muda yang
masih duduk di bangku sekolah dan universitas.
Lalau
jika para pelajar yang notabene sebagai pemuda yang kelak akan menjadi penentu
nasib bangsa ini saja seperti itu lalu bagaimana nasib bangsa ini nantinya ?
Guru merupakan profesi yang sangat
vital, tanpa guru apa jadinya sebuah bangsa, tanpa guru manusi tak tau apapa
bahkan di Jepang, guru adalah aset bangsa. Pada tragedi bom atom yang melanda
tiga kota yaitu Tokyo, Herosima dan Nagasaki yang hampir menewaskan seluruh
penduduk kota tersebut. Orang yang pertama kali di selamatkan adalah gurunya
karena dengan bantuan guru para generasi selanjutnya bisa berevolusi. Jadi
dapat kami simpulkan bahwa guru adalah pahlawan, revolusioner dan aset bangsa.
Begitu
mulianya begitu berharganya profesi seorang guru. Guru sebagai salah satu
pelaku yang terlibat langsung dalam pendidikan. Perannya dalam pendidikan
sangat menentukan keberhasilan pendidikan. Keberadaan seorang guru sebagai pelaku
pendidikan dalam mendampingi para peserta didik sangat diperlukan. Sosok guru
sebagai pendamping dan menjadi teladan bagi para peserta didik maka guru harus
sungguh-sungguh mampu menjaga imitsnya. Guru haruslah menjadi seorang yang
dapat memberi contoh kepada murid – muridnya mulai dari hal – hal kecil yang dapat mempengaruhi muridnya seperti kedisplinan
waktu, cara berpakaian, hingga sikap dan empati yang dikembangkan. Sehingga
penanaman nilai karakter dapat terlaksana.
Sekolah
yang berkualitas bukan hanya dilihat dari lulusannya yang memiliki nilai-nilai
akademis yang tinggi melainkan juga lulusan yang berkarakter. Kegiatan di
sekolah tidak hanya diisi dengan mengerjakan LKS belaka, sementara gurunya
sibuk dengan diklat atau seminar untuk mengumpulkan sertifikat untuk mengejar
sertifikasi. Bahkan ada yang lebih parah lagi, para guru sibuk dengan
jalan-jalan di mall pada jam-jam efektif sekolah.
Guna
menghasilkan lulusan yang berkarakter tidaklah mudah karena pendidikan karakter
tidak diajarkan secara teoritis melainkan harus dicntohkan oleh para guru
sebagai teladan bagi muridnya. Ungkapan Guru: Digugu lan Ditiru masih harus
tetap jadi pegangan bagi para guru. Guru harus menyadari keberadaan sebagai
seorang guru berpengaruh besar terhadap anak didiknya. Keberhasilan atau
tidaknya siswa dalam pendidikannya guru ikut bertanggungjawab. Hal ini
menunjukkan bahwa kita memiliki beban moral terhadap siswa ketika gagal dalam
pendidikannya. Mengkritisi hal tersebut maka sosok guru yang professional
sangat dituntut. Kita harus mampu menunjukkan profesionalitas kita kepada anak
didik. Profesional dalam hal ini tidak hanya kemampuan kita dalam mengajar
tetapi juga kepribadian kita sebagai seorang guru.
Guru
yang ideal harus cakap dalam kepribadian baik di sekolah maupun di masyarakat. Jangan
sampai seorang guru dikenal dalam masyarakat karena kekurang baiknya
kepribadiaannya.
Profesi
guru memang menuntut totalitas karena menyangkut kualitas manusia yang
dihasilkan dari proses pendidikannya. Sekarang ini semakin banyak orang yang
memilih profesi guru karena memang imbalan gajinya, khususnya guru negeri, sudah
sangat baik. Namun ironisnya mereka banyak yang tidak memahami perannya sebagai
guru dan hanya mengejar gaji serta status sebagai PNS. Seleksi serta
pengangkatan guru seharusnya diperketat dengan mempertimbangkan kualitas
pribadi serta motivasinya.
Siapa
pun yang memilih profesi guru harus mengutamakan pendidikan dan keteladanan.
Kiasan Kata Digugu lan Ditiru merupakan cerminan jati diri seorang guru yang
filosofis, seorang guru haruslah dapat memberikan teladan dan menjadi panutan
bagi para muridnya. Sudah saatnya Kiasan kata itu diwujudkan kembali bukan hanya
sekedar kata yang filosofis belaka.
Ancaman
terbesar bangsa ini adalah kehilangan karakter. Seorang guru harus dapat
menjadi cerminan karakter dan mampu menanamkan karakter pada para muridnya. Para
murid, siswa-siswi serta mahasiswa-mahasiswi bukanlah obyek melainkan subyek
yang harus semakin berkarakter dan berkembang positif manakala mereka menempuh
pendidikan. Guru tidak cukup sebagai fasilitator saja tetapi penentu kualitas
pendidikan seutuhnya.
Komentar
Posting Komentar