HAK
WARIS ANAK ADOPSI
Apabila anak ini hanya diangkat dan
diasuh, tanpa pernah menempuh proses pengangkatan anak yang sah, maka anak
tersebut tidak sama kedudukannya secara hukum dengan anak kandung. Menurut
pasal 832 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:
|
“Menurut undang-undang yang berhak
untuk menjadi ahli waris ialah para keluarga sedarah,baik sah maupun luar
kawin dan si suami atau istri yang hidup terlama, semua menurut peraturan di
bawah ini…”
|
Artinya, mereka yang memiliki hak
untuk mewaris adalah yang memiliki hubungan darah maupun hubungan perkawinan
dengan pewaris. Di luar itu, undang-undang menutup adanya kemungkinan hak
seseorang untuk menjadi ahli waris.
|
Karena itu, anak angkat yang memiliki
hak mewaris ialah mereka yang telah diadopsi secara sah, sehingga di mata
hukum mereka dianggap berkedudukan sebagai anak kandung.
|
Namun, apabila anak angkat tersebut
tidak diadopsi secara sah, maka kedudukan mereka secara hukum tidak ‘berubah’
dan mereka tetap merupakan pihak luar yang tidak memiliki hubungan darah dan
tidak memiliki hak untuk mewaris dari orang tua angkatnya.
|
Tetapi, hal ini tidak berarti anak
angkat tersebut tertutup kesempatannya untuk mendapatkan bagian harta warisan
dari orang tua angkatnya. Undang-undang masih memberikan kesempatan untuk
memperoleh bagian harta warisan tersebut melalui hibah wasiat Hal ini diatur
dalam pasal 919 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:
|
“Bagian dari harta kekayaan seorang,
yang mana ia diperbolehkan menggunakannya secara bebas, bolehlah ia
memberikan atau menghibahkannya kepada orang lain, baik seluruhnya, maupun
untuk sebagian, baik dengan perbuatan perdata antara yang masih hidup, maupun
dengan surat wasiat, baik kepada orang-orang bukan ahli waris, maupun kepada
anak-anaknya atau kepada mereka yang berhak menerima warisan…”
|
Jadi, meski seorang anak angkat tidak
memiliki hak waris, ia masih dapat memperoleh bagian dalam pewarisan dengan
jalan hibah wasiat. Namun, yang wajib diingat, bagian hibah wasiat tersebut
tidak boleh membuat bagian mutlak yang harus diterima ahli waris yang sah
menjadi berkurang.
Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal
920 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:
“Terhadap segala pemberian atau
penghibahan, baik antara yang masih hidup, maupun dengan surat wasiat yang
mengakibatkan menjadi kurangnya bagian mutlak dalam sesuatu warisan, bolehlah
kelak dilakukan pengurangan, bilamana warisan itu jatuh meluang, akan tetapi
hanyalah atas tuntutan para waris mutlak dan ahli waris atau pengganti
mereka…”
Jadi, apabila hibah wasiat yang
diterima seorang anak angkat mengakibatkan bagian warisan anak kandung
berkurang, maka si anak kandung sebagai ahli waris yang sah berhak menuntut
kekurangan bagian hak mereka.
|
HAK
WARIS ANAK DI LUAR NIKAH
Anak luar kawin yang telah diakui sah
oleh pewaris, dimana besarnya bagian yang diperoleh dari anak luar kawin
tersebut tergantung pada dengan golongan manakah ia turut mewaris. Pasal
862 sampai dengan Pasal 873 KUHPerdata mengatur pewarisan dalam hal adanya
anak luar nikah. Pasal 863 KUHPerdata berbunyi:
“jika yang meninggal meninggalkan
keturunan yang sah atau seorang suami atau isteri, maka anak-anak luar nikah
mewarisi 1/3 dari bagian yang harus mereka dapat, andaikata mereka anak anak
yang sah, jika si meninggal tak meninggalkan keturunan, suami atau isteri
akan tetapi meninggalkan saudara laki-laki dan perempuan atau keturunan
mereka mewaris ½ dari warisan dan jika pewaris hanya meninggal sanak saudara
dalam derajat yang lebih jauh maka bagian anak luar kawin yang diakui adalah
sebesar ¾ bagian.”
Jadi Pasal 863 KUHPerdata ini
membatasi hak mewaris anak luar nikah pada ½ (separuh) warisan, apabila ia
mewaris bersama orang tua pewaris, saudara laki-laki dan perempuan atau
keturunan mereka (golongan II). Apabila anak luar kawin mewaris bersama sama
dengan golongan III dan IV maka ia berhak atas ¾ bagian dari harta
peninggalan.
Dalam menentukan bagian anak luar
nikah, harus diperhatikan Pasal 285 ayat 1 KUHPerdata, yang menentukan
pengakuan yang dilakukan sepanjang perkawinan oleh suami isteri atas keuntungan
anak luar nikah, yang sebelum menikah olehnya diperbuahkan pada orang lain
dari suami isteri itu tidak dapat membuat kerugian pada suami isteri itu
maupun anak anaknya yang dilahirkan dalam perkawinan itu.
Maksudnya bahwa demi kepentingan
suami/isteri yang hidup terlama, anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan
itu, maka pengakuan itu harus tidak diperhatikan sehingga hak dari
suami/isteri yang hidup terlama, anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan
itu harus dihitung seolah-olah anak luar nikah itu tidak diakui (tidak ada
anak luar kawin).
Terhadap anak zinah dan anak sumbang,
berdasarkan Pasal 867 KUHPerdata mereka tidak dapat mewaris dari orang yang
membenihkannya namun undang undang memberikan hak pada mereka untuk menuntut
nafkah untuk hidup yang besarnya ditentukan menurut kekayaan ayah/ibunya
serta jumlah dan keadaan para ahli waris yang sah tersebut sebagaimana diatur
dalam Pasal 868 KUHPerdata.
HAK WARIS ANAK KANDUNG
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, dalam hukum perdata barat
dikenal 4 penggolongan ahli waris yaitu :
Golongan I
: anak anak dan keturunan serta janda atau duda
yang hidup terlama (Pasal 852 KUHPerdata)
Mereka yang pertama kali dipanggil oleh Undang Undang sebagai ahli waris
adalah anak dan keturunannya beserta suami atau isteri dari pewaris.
Anak-anak mewarisi untuk bagian yang sama besarnya dan suami atau isteri yang
hidup terlama mewarisi bagian yang dengan anak. Pasal 852 KUHPerdata
menjelaskan bahwa anak-anak atau sekalian keturunan mereka, baik dilahirkan
dari lain lain perkawinan sekalipun, mewaris dari kedua orang tua, kakek atau
nenek atau semua keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus
keatas, dengan tiada perbedaan antara laki dan perempuan dan tiada perbedaan
berdasarkan kelahiran lebih dahulu. Mereka mewaris kepala demi kepala, jika
dengan si meninggal mereka bertalian keluarga dalam derajat ke satu dan
masing-masing mempunyai hak karena diri sendiri dan mereka mewaris pancang
demi pancang, jika sekalian mereka atau sekedar sebagian mereka bertindak
sebagai pengganti.
Diantara keturunan, orang lebih dekat derajatnya kecuali pelaksanaan
aturan penggantian, menyampingkan orang yang lebih jauh derajatnya. Apabila
cucu mewarisi untuk diri sendiri, mereka mewarisi untuk bagian yang sama besarnya.
Sebagai contoh harta peninggalan suami atau isteri, dua orang anak, dan tiga
orang cucu dari anak yang meninggal lebih dahulu, maka harta peninggalannya
dibagi dalam empat bagian yang sama besarnya. Suami atau isteri yang hidup
terlama, tiap anak dan ketiga cucu bersama-sama menerima seperempat. Apabila
ayah dari ketiga cucu itu tidak meninggal lebih dahulu, atau ia tidak pantas,
atau menolak haknya untuk mewarisi untuk pewaris, maka harta peninggalan
dibagi antara suami atau isteri yang hidup terlama dan kedua anak dalam tiga
bagian yang sama besarnya. Apabila suami atau isteri dari pewaris berikut
ketiga anaknya telah meninggal dunia terlebih dahulu maka ketiga cucu
tersebutlah yang menjadi ahli waris pewaris dengan besar bagian masing masing
adalah 1/3 (satu per tiga) dari harta peninggalan pewaris. Disini ketiga cucu
tersebut mewaris tetapi bukan dengan penggantian melainkan karena
kedudukannya sendiri.
|
Nama :Herman Rahma Wanto NIM :3301413085 Hukum Perdata 1 HAK WARIS ANAK ANGKAT, ANAK KANDUNGdan ANAK DILUAR NIKAH Hak waris adalah hak seseorang untuk mendapatkan harta milik pewaris. Seseorang yang mendapat hak waris ini disebut ahli waris. Adapun perihal waris mewaris diatur dalam hukum waris. Hukum waris ( erfrecht ) yaitu seperangkat norma atau aturan yang mengatur mengenai berpindahnya atau beralihnya hak dan kewajiban ( harta kekayaan ) dari orang yang meninggaldunia ( pewaris ) kepada orang yang masih hidup ( ahli waris) yang berhak menerimanya. Ataudengan kata lain, hukum waris yaitu peraturan yang mengatur perpindahan harta kekayaan orangyang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain. Menurut Mr. A. Pitlo, hukum waris yaitu suatu rangkaian ket entuan – ketentuan, di mana, berhubung dengan meninggalnya seorang, akibat- akibatnya di dal...
Komentar
Posting Komentar