Langsung ke konten utama

Pesona Perempuan Dalam Pilkada Serentak 2015: Jalan Terjal Srikandi Menuju Tangga Kepemimpinan Daerah



Pesona Perempuan Dalam Pilkada Serentak 2015: Jalan Terjal Srikandi Menuju Tangga Kepemimpinan Daerah
Oleh : Herman Rahma Wanto[1]
NIM 3301413085
Universitas Negeri Semarang
Abstrak
Partisipasi perempuan dalam dunia politik sejauh ini masih tergolong rendah. Begitu pula dalam perhelatan pilkada serentak 2015 ini kaum perempuan belum dapat berbicara banyak dimana kandidat perempuan hanya 122 orang dari 1.652 peserta, atau 7,33 persen. Dengan hasil pemilihan hanya 46 daerah yang melahirkan perempuan sebagai pemimpin dari total 528 kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Namun dari segi partisipasi penggunaan hak pilih patut kita presiasi dimana perempuan lebih banyak menggunakan hak pilihnya dengan selisih cukup tinggi yakni 4%. Banyak jalan terjal dan faktor yang menyertai hal itu. Salah satu faktor yang mempengaruhi partisipasi perempuan dalam politik adalah masih kentalnya budaya patriarki dalam masyarakat. Selain itu faktor yang mempengaruhi adalah kurangnya modal perempuan untuk menjadi seorang pemimpin baik modal secara fisik berupa dana finansial yang menunjangnya maupun non fisik dari mulai kemampuan dan kualitas sumberdaya manusia dari para kader permpuan itu sendiri yang masih diragukan. Ketiga adalah minimnya basis yang mendukung calon perempuan dalam pertarungan politik baik basis dukungan dalam masyarakat maupun dalam kubu partai. Oeleh karenanya kedepan para pemimpin perempuan harus mampu menjawab semua tantangan dan keraguan yang mengitari mereka selama ini. Untuk mewujudkan harapan itu diperlukan pembangunan politik yang demokratis dimana berbasis pada pendidikan politik dan Gender.

            Ham dan pemilu seperti yang diungkapkan diatas merupakan dua unsur dalam konsep sebuah negara demokrasi. Dimana keduanya saling berkaitan satu sama lain. Pemilihan umum merupakan sarana dalam atas jaminan hak-hak politik warga negara yaitu mencakup hak memilih dan dipilih serta hak atas kesempatan yang sama untuk duduk dalam pemerintahan. Misalanyaadanya jaminan persamaan hak atau non-diskriminasi (bebas dari diskriminasiras, warna kulit, jenis kelamin, agama, bahasa, kebangsaan atau asal-usulsosial). Begitu pula adanya jaminan kebebasan berpendapat, berserikat, danberkumpul, bergerak, jaminan hak atas keamanan, dan proses hukum yangsemestinya. Oleh karena itu pemilu memiliki hubungan yang positif dengan perkembangan demokrasi, apabila partai politik sebagai konstestan diberikan jaminan berkompetisi untuk memperolah suara rakyat/pemilih[3].
Seperti dijelaskan diatas bahwa setiap warga negara berhak atas jaminan hak-hak politiknya dan pemilu sebagai sarana untuk menjamim hak-hak politik tersebut.  Dalam hal ini termasuk hak politik bagi mereka kaum perempuan tanpa adanya diskriminasi gender. Gender adalah pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peran,fungsi, hak, perilaku yang dibentuk oleh ketentuan sosial dan budaya setempat. MenurutMansour Fakih,  gender adalah  suatu sifat yang melekat pada kaum laki-lakimaupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural[4]. Indonesia sebagai negara demokrasi harus mampu mengakomodir hak-hak politik perempuan tersebut.
Terkait dengan hal tersebut dalam pasal 2 ayat 2  UU No 2 Tahun 2011 tentang partai politik dijelaskan bahwa dalam pendirian dan pembentukan partai politik harus menyertakan 30% keterwakilan perempuan. Masih dalam pasal yang sama di ayat 5 dijelaskan bahwa dalam kepengurusan pusat juga harus menyertakan 30% keterwakilan perempuan. Lebih lanjut dalam perekrutan kader yaitu pada pasal 29 pun dijelaskan mengenai 30% keterwakilan perempuan. Dengan demikian dapat kita lihat bagaimana secara yuridis sangat terbuka bagi kaum perempuan untuk terjun dalam dunia politik. Jika berkaca pada pemilu legislatif 2014 lalu, UU No 8 Tahun 2012 tentang pemilu legislatif mewajibkan partai politik dalam mencalonkan kadernya setidaknya memenuhi keterwakilan perempuan sebanyak 30%.
Namun dalam hasilnya pemilu legislatif 2014 lalu tidak mampu memenuhi qwota 30% dalam parlemen. Justru terjadi penurunan jumlah representasi perempuan sebanyak 97 orang atau 17.00% jika dibandingkan dengan Pemilu 2009 sebanyak 18,03% atau 101 orang. Jika berkaca pada hal tersebut dalam kasus ini perempuan masih berada pada posisi under represented[5]. Hal ini dikarenakan berbagai faktor salah satunya dari rendahnya partisipasi perempuan itu sendiri.
Gambaran umum dari partisipasi perempuan dan politik di Indonesia memperlihatkan  representasi  yang  rendah  dalam  semua  tingkatan  pengambilan keputusan, baik di tingkat  eksekutif, legislatif,  yudikatif,  maupun  birokrasi pemerintahan, partai  politik dan kehidupan  publik  lainnya.  Selain  rendahnya representasi atau keterwakilan perempuan dalam kehidupan politik dalam arti jumlah atau  kuantitas,  maka  ada  gambaran lain yang melengkapinya yakni  persoalan kualitas. Partisipasi mereka di bidang politik selama ini, jika memang itu ada, hanya terkesan  memainkan peran sekunder. Mereka hanya dilihat sebagai pemanis atau penggembira,  dan  ini  mencerminkan  rendahnya pengetahuan mereka di bidang politik[6].
Sudah menjadi budaya yang turun-temurun menempatkan peran perempuan di sektor domestik dan laki-laki di sektor publik, sehingga mengakibatkan akses dan partisipasi  perempuan  dalam  dunia  politik  sangat  rendah.  Konsekuensi  yang kemudian  terjadi  adalah  jika  dilihat  dari  sudut  pandang  hak  dan  kewajiban perempuan  dalam  kehidupan  bernegara,  seorang  perempuan  berhak  untuk  ikut berpartisipasi dalam dunia politik, bahkan untuk menjadi seorang pemimpin. Namun realitanya  masih  banyak  masyarakat  yang  menganggap keterwakilan  perempuan dalam  dunia  politik  adalah  sesuatu  yang  kurang  mendapat  respon  positif.  Di sini nampak sekali terjadi ketidakadilan gender dalam dunia politik.
Melihat fenomena tersebut, menarik jika kita melihat bagaimana aksi dan kiprah perempuan dalam Pilkada Serentak 2015. Diamana sesuai dengan amanat UU No 8 tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, tahun 2015 tepatnya tanggal 9 Desember menjadi gelombang pertama pelaksanaan Pilkada Serentak yang dilaksanakan serentak di 9 provinsi, 224 kabupaten dan 36 kota[7]. Banyak pihak yang menilai pilkada serentak ini menjadi moment bagi perempuan untuk menunjukan kuwalitasnya dan pesonanya sebagai seorang pemimpin. Namun ada pula yang beranggapan bahwa dalam pilkada serentak ini perempuan belum dapat berbicara banyak.
Perempuan yang berjuang dalam pilkada serentak 2015 ini dapat diibaratkan seorang Srikandi yaitu Pejuang Perempuan dalam cerita pewayangan jawa yang sakti mandraguna dan mampu menunjukan tajinya dalam dominasi kaum laki-laki. Sangat menarik bagaimana kita mencermati pilkada serentak 2015 yang dilaksanakan 9 Desember ini. Bagaimana kiprah para Srikandi didalamnya. Oleh karenanya penulis melalui tulisan ini ingin memberikan analisis kiprah para Srikandi dalam Pilkada Serentak 2015 berserta jalan terjal yang menghadangnya termasuk pula gagasan dari penulis untuk mencoba memberikan solusi terkait berbagai hambatan tersebut.
            Pilkada serentak diprediksikan banyak pihak menjadi salah stu momentum bagi para perempuan untuk menunjukan kwalitasnya dalam ranah eksekutif kepemimpinan daerah.  Namun dalam prakteknya partisipasi perempuan dalam hal ini masih minim. Hasil penelusuran data laman infopilkada.kpu.go.id, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyatakan kandidat perempuan dalam pilkada serentak 2015 hanya 122 orang dari 1.652 peserta, atau 7,33 persen. Dari 122 perempuan yang berlaga dalam pilkada, 56 mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan 66 orang tercatat sebagai calon wakil kepala daerah. Para perempuan tersebut tersebar di 90 daerah dari 262 daerah kabupaten, kota, dan provinsi. Pada pilkada kabupaten, terdapat 76 orang dari 219 wilayah. Untuk pilkada kota 13 orang dari 34 wilayah, dan provinsi hanya 1 orang dari 9 wilayah. Sedangkan berdasarkan wilayah partisipasinya, tercatat 79 orang mendaftar di tingkat kabupaten, 13 orang di tingkat kota, dan satu orang tingkat provinsi[8].
            Dari data tersebut tentunya dapat kita lihat bagaimana pencalonan perempuan dalam pilkada serentak 2015 ini masih sangat minim. Dimana hanya ada 90 daerah yang mempunyai calon dari kaum perempuan dari total 219 yang mengikuti pilkada serentak gelombang pertama ini. 116 orang calon perempuan dari total 1.584 peserta, atau 7,32 persen merupakan angka yang sangat timpang bagaimana kaum laki-laki masih sangat jelas mendominasi. Sangat disayangkan bagaimana banyak pihak mengharapkan pilkada serentak dapat menjadi momentum bagi para perempuan untuk terjun, aktif dan berperan dalam dunia politik khususnya dalam ranah eksekutif daerah.
            Menarik kita cermati bagaimana latarbelakang para calon ini. Dimana calon perempuan berlatarbelakang kader partai cukup banyak. Hal ini merupakan hal yang positif bagi perkembangan politik perempuan. Dimana para partai politik tidak lagi hanya mengorbitkan kader laki-laki saja, melainkan tidak memandang sebelah mata terhadap para kader perempuan. Dalam hal ini yang menjadi sorotan tentunya partai politik berusaha menghadirkan kader-kader perempuan yang berkualitas.
            Menelaah lebih lanjut mengenai kiprah, tentu hal yang paling sensitif adalah hasil. Hal yang perlu kita bahas disini adalah mengenai kemenangan para calon perempuan dalam pilkada serentak 9 desember lalu. Dikutip dari Riaupos.com menurut direktur eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, dari 264 daerah yang menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2015, hanya 46 daerah yang melahirkan perempuan sebagai pemimpin. Dengan rincian 39 orang terpilih di kabupaten dan 7 di kota 24 orang perempuan yang terpilih sebagai kepala daerah. Selain itu 22 orang perempuan yang terpilih sebagai wakil kepala daerah. Angka yang terlampau kecil, hanya 8,7 persen dari total 528 kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih[10].
            Melihat data tersebut tentunya dapat kita simpulkan bagaimana kiprah para calon perempuan dalam pilkada serentak 2015 masih kecil dan dapat dikatakan belum dapat berbicara banyak. Namun hal tersebut rasanya merupakan momentum bagi para kaum perempuan untuk menapaki kepemimpinan eksekutif daerah kedepan. Hal yang sangat perlu kita apresiasi tentunya mengingat begitu banyak hambatan yang menyertai perjalanan politik perempuan di negri ini.
Jika kita telaah lebih lanjut terkait partisipasi perempuan dalam proses pilkada serentak 2015 ini menunjukan perkembangan yang sangat positif. Dimana perempuan mendominasi dalam penggunaan hak pilihnya. Terkait dengan hal tersebut Jaringan Pendidikan Pemilih Rakyat (JPPR) melakukan pemantauan partisipasi pemilih dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 9 Desember 2015 melalui situs resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Pilkada2015 yakini kpu.go.id. Hasilnya, berdasarkan data yang masuk per Kamis (17/12), dari 229 daerah Pilkada (total 264 daerah) dengan jumlah data pemilih tetap (DPT) sebanyak 94.117.455 (total 97.146.222), partisipasi pemilih rata-rata sebesar 69% dan perempuan lebih banyak menggunakan hak pilihnya dengan selisih cukup tinggi yakni 4%. Koordinator Nasional JPPR, Masykurudin Hafidz, mengatakan, jumlah DPT di 229 daerah adalah 94.117.455 dengan rincian pemilih laki-laki 47.031.770 (49,9%) dan pemilih perempuan 47.085.685 (50,1 %). Partisipasi pemilih 60.099.431. Partisipasi laki-laki 28.640.178 (48%) dan partisipasi perempuan 31.459.253 (52%)[11]. Hal ini menunjukan bahwa perempuan saat ini lebih sadar akan hak dan kewajibanya dalam bidang pilitik, serta betapa pentingnya peran dalam memilih seorang pemimpin.
Sehingga dalam kesempatan pilkada serentak ini kiprah perempuan dalam partisipasinya sangat perlu kita apresiasi. Meskipun dalam keterwakilan calon masih sangat minim yaitu hanya 122 orang dari 1.652 peserta, atau 7,33% dan menghasilkan 46 pemimpin daerah perempuan. Hal ini tetap merupakan langkah baru dalam kepemimpinan perempuan terutama dalam ranah eksekutif daerah. Terlebih lagi perempuan dalam pilkada serentak unggul dalam hal penggunaan hak pilihnya. Tentu saja ini adalah momentum positif bagi perkembangan partisispasi politik perempuan kedepan.
Terkait hal tersebut perlu kita analisis lebih dalam lagi bagaimana hambatan para calon pemimpin perempuan dalam menggapai tangga kepemimpinan daerah. Mengingat dari data ststistik partisipasi perempuan jauh lebih tinggi dari pada kaum laki-laki. Namun ternyata dalam hasil pencalonanya perempuan belum mampu berbicara banyak. Oleh karenanya sangat menarik kita bahas terkait mengapa hal tersebut bisa terjadi serta hambatan dan faktor yang mempengaruhi hal tersebut.
            Jika kita berbicara mengenai partisipasi politik perempuan di Indonesia maka tidak lepas dari kondisi sosio-kultural atau kondisi sosial budaya masyarakat yang multikultural. Baik dari segi agama, suku dan etnis, kelas sosial bahkan faktor geografis dan wilayah juga sangat berpengruh dalam hal ini. Bahwa perempuan Indonesia juga terbagi atas berbagai stratifikasi sosial yang ada dalam masyarakatnya.
            Menurut prof. Farida Nurland, ada 3 tantangan yang harus dihadapi oleh perempuan Indonesia yaitu :
1.     Budaya Indonesia yang feodal dan patriarki
2.     Pemehaman dan interprestasi konservatif masyarakat Indonesia terhadap ajaran agama yang juga beragam.
3.     Hegemoni negara yang direfleksikan dalam institusi-institusi negara yang terus menerus mempertahankan budaya patriarki[12].
Budaya patriarki yang mengakar dan sistem politik yang didominasi oleh laki-laki memiliki dampak negatif bagi upaya perempuan untuk mendapatkan hak dalam partisipasi politiknya. Akibatnya adalah perempuan tidak mendapat dukungan, dan bahkan dalam banyak hal malah dihambat, untuk mengambil peran aktif diruang publik. Hal tersebut berpengaruh pada presepsi masyarakat yang menganggap bahwa perempuan hanya pantas menjadi ibu rumah tangga bukan sebagai warga masyarakat layaknya aktor politik. Pemikikiran-pemikiran seperti ini sudah pasti akan membatasi peluang perempuan untuk terlibat aktif diranah politik.
Norma budaya tradisional yang sudah terinternalisasi ini mengakibatkan sebagian besar perempuan secara psikologis menjadi tidak siap untuk berpartisipasi aktif dan terjun dalam bidang politik. Sebagian memiliki perasaan rendah diri dan yakin bahwa mereka tidak memiliki kemampuan dan keahlian yang dibutuhkan untuk berkecimpung di bidang politik[13]. Sehingga secara tidak langsung selain enggan terjun dalam dunia politik mereka pun lebih mempercayai kaum laki-laki untuk menjadi seorang pemimipin. Dikarenakan secara psikologis mereka sendiri sadar akan kelemahan mereka.
Sehingga dalam hal ini salah satu  penyebab minimnya peran perempuan dalam pilkada serentak 2015 berasal dari faktor sosio-kultural masyarakat. Seperti dikutip dalam beritasatu.com  menteri PPPA, Yohana Yembise, mengatakan, hingga saat ini budaya patriarki di masyarakat masih kuat, di mana perempuan ditempatkan sebagai warga kelas dua. Ini termasuk salah satu penghambat laju perempuan dalam pilkada tahun ini[14]. Presepsi masyarakat yang buta gender (gender blind) yang menganggap perempuan tidak patas menjadi seorang pemimpin ataupun terju ke dunia politik ini menjadi salah satu penghambat yang signifikan. Tidak hanya berdampak pada minimnya pencalonan kaum perempuan tetapi juga berdampak pada dukungan terhadap para calonperempuan itu sendiri, meskipun partisipasi perempuan dlam menggunakan hak pilihnya lebih tinggi dari laki-laki.
Dampak dari kentalnya budaya patriarki adalah tertutpnya akses bagi perempuan untuk mengembangkan dirinya. Misalnya saja dalam ranah pendidikan, bahwa pendidikan kaum perempuan masih sangat rendah dibanding dengan kaum laki-laki. Sebagaimana dikutip sindonews.com bahwa menurut sekretaris mentri PPPA tingginya angka buta huruf perempuan usia 15 tahun keatas lebih besar yakni 9,48 persen dibanding dengan laki-laki yang hanya 4,3 persen. Hal ini menunjukan masih rendahnya tinggat pendidikan pada kaum perempuan[15].
Hal tersebut tentunya berdampak pada tingkat partisipasi perempuan mengingat salah satu faktor utama pendorong partisipasi politik dalah tingginya tingkat pendidikan seseorang. Pendidikan menjadi sebuah akses penting dalam menapaki tangga politik. Termasuk didalamnya yang menjadi unsur penting adalah pendidikan politik. Hal ini berakibat pada belum siapnya perempuan untuk terjun dalam dunia politik. Mengapa demikian, karena perempuan dinggap dalam tanda kutip tidak berkompeten dalam dunia politik yang disebabkan oleh kurang mendapatkan apa yang dinamakan dengan pendidikan politik.
Akses yang sulit tersebut berakibat pada minimnya sumberdaya politik perempuan. Yaitu terbatasnya para kader-kader politik perempuan yang berkualitas. Sehingga dalam partisipasinya pun tidak mampu berbuat banyak. Alhasil politik perempuan ibaratkata politik seadanya sebagai suatu pelengkap dalam sebuah sistem politik. Hal tersebut lebih lanjut berdampak pada keraguan publik akan kapabilitas perempuan dalam memimpin. Timbulah presepsi dalam masyarakat apakah perempuan mampu?, apakah perempuan sanggup ?. Hal tersebut tentunya mengakibatkan tipisnya kesempatan bagi perempuan untuk menunjukan tajinya dalam bidang politik. Hal itulah yang menyebabkan partai politik enggan mengorbitkan kader-kader perempuan.
Tidak sampai disini saja kendala perempuan dalam memimpin juga terletak pada faktor finansial. Dimana pada umumnya kaum perempuan cenderung lebih lemah secra finansial dengan kaum laki-laki. Hal ini berdampak pada sulitnya mencari dukungan mengingat dalam politik tidak hanya berbicara mengenai gagasan saja tetapi finansial juga memiliki faktor penting.
            Dampak dari budaya patriarki yang telah terinternalisasi dalam masyarakat adalah kurangnya modal perempuan untuk menjadi seorang pemimpin. Selain itu juga berakibat lebih lanjut pada rendahnya basis dukungan kepada para kandidat dan calon perempuan. Bahkan dalam tubuh kaum perempuan itu sendiri karena secara psikologis mereka telah beranggapan bahwa perempuan tidak memiliki keahlian dan kemampuan untuk terjun dalam dunia politik. Penilaian sebelah mata masyarakat terhadap calon perempuan berdampak pada sulitnya perempuan berkiprah dalam bidang politik.
            Faktor basis dukungan menjadi salah satu yang terpenting dalam menunjang kiprah perempuan dalam dunia politik. Kurangnya basis dukungan merupakan kendala yang sangat menghambat partisipasi perempuan. Pararel dengan faktor ini ternyata memang tidak ada stu organisasipun yang bisa berperan mengkoordinir pembentukan basis dukungan ini. akibatnnya, akan berpengaruh terhadap kuwalitas kerja perempuan dan upaya untuk merekrut kader-kader politik perempuan untuk mengisi lemabaga-lembaga atau organisasi-organisasi politik. Masih ditambah lagi yang tidak kalah beratnya adalah rendahnya koordinasi atar kelompok yang bergerak dalam urusan gender mengakibatkan juga rendahnya tingkat kesiapan perempuan dalam menyambut pemilu yang akan datang. Salah satu prasyarat dalam menghadapi pemilu adalah upaya untuk mengidentifikasi kandidat politisi perempuan[16].
Padahal jika kita berkaca pada Pilkada Serentak 2015 yang dilaksanakan 9 desember lalu perempuan lebih banyak menggunakan hak pilihnya dengan selisih cukup tinggi yakni 4%. Dari total jumlah DPT di 229 daerah adalah 94.117.455 dengan rincian pemilih laki-laki 47.031.770 (49,9%) dan pemilih perempuan 47.085.685 (50,1 %). Partisipasi pemilih 60.099.431. Partisipasi laki-laki 28.640.178 (48%) dan partisipasi perempuan 31.459.253 (52%)[17]. Hal tersebut tentunya sangat berpotensi bila dimaksimalkan dalam basis dukungan yang terkoordinir dengan baik.
Selain dukungan dari faktor masa yang tak kalah pentingnya adalah dukungan partai politik dalam mendukung calon perempuan maupun dalam penominasian calon perempuan. Sebagaimana diungkapkan oleh Jendral Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Dian Kartika Sari, bahwa rendahnya partisipasi perempuan disebabkan banyak hal, seperti rendahnya dukungan partai politik dan kurangnya kesiapan perempuan dalam bursa pencalonan kepala daerah. Dukungan parpol merupakan faktor penentu dalam pencalonan kepala daerah[18]. Oleh karenanya dukungan parpol menjadi salah satu yang terpenting dalam hal ini, Lebih lanjut berbicara dukungan parpol terhadap perempuan adalah beranjak dari keseriusan parpol dalam mengusung calon perempuan mualai dari rekruitmen dan kaderisasi. Terkait dengan hal tersebut dalam pasal 2 ayat 2  UU No 2 Tahun 2011 tentang partai politik dijelaskan bahwa dalam pendirian dan pembentukan partai politik harus menyertakan 30% keterwakilan perempuan. Masih dalam pasal yang sama di ayat 5 dijelaskan bahwa dalam kepengurusan pusat juga harus menyertakan 30% keterwakilan perempuan. Lebih lanjut dalam perekrutan kader yaitu pada pasal 29 pun dijelaskan mengenai 30% keterwakilan perempuan. Namun sejauh ini belum terlihat adanya keseriusan tersebut, parpol masih cenderung pragmastis dengan memilih untuk mengorbitkan calon yang berpeluang besar menang. Kalo sudah begini terlepas dari unsur gender dan kualitas seorang calon. Bahkan tidak menutup kemungkinan yang berpeluang besar menang adalah yang mempunayi modal finansial tinggi. Hal ini lah ang menutup peluang calon perempuan yang seharusnya dapat tapil dan berlaga dalam sebuah pemilu. Selain itu kebanyakan kader perempuan dalam parpol masih banyak yang asal comot untuk melengkapi formalitas aturan yang ada.
            Terlepas dari berbagai pendapat yang mengitarinya, terpilihnya 46 kepala daerah dalam Pilkada serentak 2015. Dengan rincian 39 orang terpilih di kabupaten dan 7 di kota 24 orang perempuan yang terpilih sebagai kepala daerah. Selain itu 22 orang perempuan yang terpilih sebagai wakil kepala daerah. Merupakan sebuah momentum besar yang patut kita apresiasi. Meskipun sangat kecil jika dibandingkan dengan torehan kaum laki-laki namum ini merupakan sebuah gebrakan nyata dari kaum perempuan untuk menapaki tangga kepemimpian politik di negeri ini.
            Tantangan kedepan adalah bahwa para pemimpin perempuan yang sudah terpilih ini harus mampu menjawab semua keraguan yang mengitari mereka selama ini. perempuan harus dapat menunjukan bahwa mereka mampu, bahwa merek sanggup untuk menjadi seorang pemimpin. Dengan apa menunjukannya, tentu saja dengan prestasi. Dimana para pemimpin perempuan saat ini adalah harapan bagi pemimpin perempuan berikutnya bahwa mereka harus mampu mengubah paradigma dan presepsi yang ada dalam masyarakat. Bahwa perempuan juga dapat menjadi seorang pemimpin yang handal dalam memajukan dan mensejahterakan daerahnya. Sehingga kedepan masyarakat menjadi sadar akan peran dan kemampuan perempuan dalam memimpin. Mereka yang bias gender akan menyadari bagaimana perempuan juga memiliki hak yang sama dalam dunia politik. Masyarakat pun tak ragu lagi dalam menentukan pilihan dan tidak didasarkan pada diskriminasi gender melainkan pada kualitas dari masing-masing pemimpin.
            Sebagai contoh kecil adalah kemenangan Bu Rishma dalam Pilkada Kota Surabaya 9 Desember lalu. Dimana ini merupakan kali ke dua beliau menjabat. Tak ada yang meragukan popularitas Bu Rishma saat ini. Tak hanya masyarakat Surabaya bahkan hampir semua orang mengetahuinya. Dengan berbagai prestasi atas kebijakanya beliau dianggap menjadi sosok yang mampu mengangat kota Surabaya menjadi lebih baik. Oleh karenanya rakyat surabaya pun tak ragu untuk memilihnya kembali dalam momen pilkada serentak 9 desember lalu. Seketika beliau mampu mengubah presepsi masyarakat bahwa pemimpin perempuan pun mampu untuk membawa daerahnya menuju arah yang lebih baik.
            Harapanya kedepan para perempuan yang terpilih dalam pilkada serentak 2015 ini dapat meniru jejak bu Rishma dalam ranah prestasi dan dedikasinya untuk memajukan dan mesnsejahterakan daerah. Sehingga kedepan akan mengubah presepsi masyarakat terhadap kepemimpinan perempuan dan tak ada lagi diskriminasi gender dalam bidang politik. Kedepan perempuan harus mampu menjadi sosok yang menghadirkan solusi dan alternatif terkait berbagai permasalahan dan carut-marut kondisi perpolitikan di negri ini. Lebih lanjut kedepan partisipasi perempuan harus dapat menjadi komponen penting dalam membangun Indonesia yang lebih baik.
            Untuk mewujudkan harapan itu membutuhkan langkah bagaimana kedepan pembangunan politik ini juga harus mengakomodir hak politik dari kaum perempuan. Untuk itu diperlukan pembangunan politik yang demokratis dimana berbasis pada pendidikan politik dan Gender. Dalam upaya mebangunan sistem politik yang demokratis terdapat dua aspek yang menjadi sasaran pembangunan  yaitu Pemerintah dan Masyarakat. Pemerintah sebagai penyelengara negara erat kaitanya dengan masayrakat dalam konsep negara demokrasi. Tujuan nasional dapat diwujudkan melalui kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dan masyarakat merupakan bagian tak terpisahkan dari kebijakan itu. Oleh kareanya keduanya adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan politik sehingga pembangunan politik pun harus meliputi dua aspek itu.
Dalam aspek masyarakat, untuk mengubah paradigma masyarakat terkait dengan politik dan gender adalah melalui pendidikan politik dengan tujuan membentuk masyarakat yang melek politik. Karena untuk mengubah paradigma yang sudah mengakar dalam masyrakat secara tradisional tidak dapat dihilangkan dengan mudah. Untuk itu pendidikan politik merupakan sarana yang tepat. Kartini Kartono menjelaskan  bahwa  pendidikan  politik  disebut juga sebagai political forming atau politische bildung. Disebut “forming” karena mengandung intensi untuk membentuk insan politik yang menyadari status dan kedudukan politiknya di tengah masyarakat. dan disebut “bildung” karena istilah tersebut menyangkut aktivitas membentuk diri sendiri, dengan kesadaran penuh dan tanggungjawab sendiri untuk menjadi insan politik. Sedangkan  Hajer  mendefinisikan pendidikan politik sebagai usaha membentuk manusia menjadi partisipan yang bertanggung jawab dalam politik[19].
            Sehingga melalui pendidikan politik inilah bagaimana membentuk masyarakat yang melek politik yaitu yang sadar dan paham akan ststus dan kedudukannya dalam masayarakat maupun dalam negara. Disinilah misi kesetaraan gender dan pemberian pemahaman akan hak-hak gender dalam berbagai bidang khususnya politik disampaikan kepada masyarakat. sehingga nantinya masyarakat akan paham dan mengerti akan hal tersebut bawa semua orang mempunyai hak yang sama. Harapanya kaum perempuan sendiripun akan sadar tentang status dan keudukanya yang berimplikasi pada meningkatnya partisipasi dan peran mereka dalam bidang politik. Sehingga kedepan harapanya akan membawa masyarakat menuju kedewasaan politik dalam pembangunan sistem politik yang demokatis.
            Selain itu  diperlukan juga dukungan dari pemerintah melalui penegasan atas  aturan minimal keterwakilan 30% perempuan dalam tubuh partai politik. Serta dari sisi partai politik itu sendiri sebagai bagian dari masyarakat dan juga pemerintah. Diamana perlu adanya komitmen tinggi dari partai politik bagaimana mengembangkan dan mendorong kaum perempuan dalam meningkatkan partisipasi politik. Baik secara kepengurusan, recruitment politik, kaderisasi politik maupun pencalonan dalam ranah eksekutif dan legislatif.
Simpulan
1.     Dalam perhelatan pilkada serentak 2015 ini kaum perempuan belum dapat berbicara banyak dimana kandidat perempuan dalam pilkada serentak 2015 hanya 122 orang dari 1.652 peserta, atau 7,33 persen. Dari 122 perempuan yang berlaga dalam pilkada, 56 mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan 66 orang tercatat sebagai calon wakil kepala daerah. Dengan hasil pemilihan hanya 46 daerah yang melahirkan perempuan sebagai pemimpin. Dengan rincian 39 orang terpilih di kabupaten dan 7 di kota 24 orang perempuan yang terpilih sebagai kepala daerah. Selain itu 22 orang perempuan yang terpilih sebagai wakil kepala daerah. Angka yang terlampau kecil, hanya 8,7 persen dari total 528 kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Namun dari segi partisipasi penggunaan hak pilih patut kita presiasi dimana dari jumlah data pemilih tetap (DPT) sebanyak 94.117.455 (total 97.146.222), partisipasi pemilih rata-rata sebesar 69% dan perempuan lebih banyak menggunakan hak pilihnya dengan selisih cukup tinggi yakni 4%. Hal ini menunjukan bahwa perempuan saat ini lebih sadar akan hak dan kewajibanya dalam memilih seorang pemimpin.
2.     Salah satu faktor yang mempengaruhi partisipasi perempuan dalam politik adalah masih kentalnya budaya patriarki dalam masyarakat. Dimana masyarakat menganggap bahwa perempuan hanya pantas menjadi ibu rumah tangga bukan sebagai warga masyarakat layaknya aktor politik. Pemikikiran-pemikiran seperti ini sudah pasti akan membatasi peluang perempuan untuk terlibat aktif diranah politik. Presepsi masyarakat yang buta gender (gender blind) yang menganggap perempuan tidak patas menjadi seorang pemimpin ataupun terjun ke dunia politik ini menjadi salah satu penghambat yang signifikan.
3.     Selain itu faktor yang mempengaruhi adalah kurangnya modal perempuan untuk menjadi seorang pemimpin baik modal secara fisik berupa dana finansial yang menunjangnya maupun non fisik dari mulai kemampuan dan kualitas sumberdaya manusia dari para kader permpuan itu sendiri yang masih diragukan.
4.     Ketiga adalah minimnya basis yang mendukung calon perempuan dalam pertarungan politik baik basis dukungan dalam masyarakat maupun dalam kubu partai. Faktor basis dukungan menjadi salah satu yang terpenting dalam menunjang kiprah perempuan dalam dunia politik. Kurangnya basis dukungan merupakan kendala yang sangat menghambat partisipasi perempuan.
5.     Oeleh karenanya kedepan para pemimpin perempuan harus mampu menjawab semua tantangan dan keraguan yang mengitari mereka selama ini. disisi lain mereka juga harus menjadi sosok alternatif kepemimpinan yang menyediakan berbagai solusi terkait berbagai persmasalahan dan carut marut politik di negri ini. sehingga harapnya kedepan dapat merubah presepsi masyarakat yang patriarki dan dapat meningkatkan partisipasi kamu perempuan untuk berperan aktif dalam dunia politik dan menjadi sosok penting dalam pembangunan negri ini.
6.     Untuk mewujudkan harapan itu diperlukan pembangunan politik yang demokratis dimana berbasis pada pendidikan politik dan Gender. Melalui pendidikan politik inilah bagaimana membentuk masyarakat yang melek politik yaitu yang sadar dan paham akan ststus dan kedudukannya dalam masayarakat maupun dalam negara. Disinilah misi kesetaraan gender dan pemberian pemahaman akan hak-hak gender dalam berbagai bidang khususnya politik disampaikan kepada masyarakat Selain itu  diperlukan juga dukungan dari pemerintah melalui penegasan atas  aturan minimal keterwakilan 30% perempuan dalam tubuh partai politik. Serta dari sisi partai politik itu sendiri sebagai bagian dari masyarakat dan juga pemerintah. Diamana perlu adanya komitmen tinggi dari partai politik bagaimana mengembangkan dan mendorong kaum perempuan dalam meningkatkan partisipasi politik.
Saran
1.     Perlu  adanya  sosialisasi  tentang  pendidikan  seks,  gender,  dan  kodrat  dalam konsep gender di dalam masyarakat luas khususnya kaum perempuan karena selama ini hanya elit feminis serta kalangan tertentu yang tahu tentang konsep gender.
2.     Perlu  adanya  pendidikan  politik  bagi  seluruh masyarakat yang mengdepankan aspek demokrasi dan hak asasi manusia termasuk didalamnya terkait genger dalam  rangka  untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran akan ststus dan kedudukanya serta dalam rangka meningktakan partisipasi masyarakat untuk dapat berperan aktif dalam politik.
3.     Mayarakat harus bisa meghilangkan budaya patriarki, mindstream, yang bias gender  selama  ini.
4.     Kaum perempuan harus mampu menunjukan diri dan tampil dalam masyarakat agar secara bertahap dapat menghapuskan budaya patriarki.
5.     Perlu adanya keseriusan dari pemerintah dan partai politik dalam upaya mengakomodir hak politik perempuan.

Daftar Rujukan
Anonim. 2015. Budaya Patriarki Hambat Perempuan Ke Pentas Pilkada 2015.  http://sp.beritasatu.com/ : diakses 7 januari 2016
Anonim. 2015. Dominasi Budaya Patriarki Ciptakan Kesenjangan Politik Perempuan. Nasional.sindonews.com: diakses 7 januari 2016
Anonim. 2015. 46 perempuan menang pilkada serentak, www.riaupos.co: diakses 7 januari 2016
Anggraini. Titi. 2015. Perludem Dorong Peningkatan Kualitas Perempuan Di Pilkada Serentak. www.suarapembaruan.com : diakses 7 januari 2016.
Arief . Muhammad. Iskandar. 2015. Kandidat Perempuan Dalam Pilkada Serentak. Antaranews.com: diakses tanggal 7 januari 2016.
Budiardjo. Miriam. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Cholisin. Dkk. 2007.  Dasar-Dasar Ilmu Politik. Yogyakarta: UNY Press.
Karono. Kartini. 2009. Pendidikan Politik. Bandung: Mandar Maju.
Nugroho. Riant. 2008. Gender  dan  Strategi  Pengarus-utamaannya  di  Indonesia.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Robbi. 2015. Pilkada Serentak 2015, JPPR: Partisipasi Nasional 69 Persen, Perempuan Lebih Tinggi, http://nasional.harianterbit.com : diakses 7 januari 2016.
Taufiqurrohman. 2015. Keterwakilan Perempuan dalam Pilkada Serentak 2015. Liputan6.com: diakses tanggal 7 januari 2016.
Tegar Rizqon. Perempuan Masih Didiskriminasi. http://nasional.harianterbit.com: diakses 7 januari 2016
Widyani. Ani Soetjipto. 2005. Politik  Perempuan  Bukan  Gerhana. Jakarta: Kompas Media Nusantara.



[1] Mahasiswa S1 Jurusan Politik Dan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang. Angkatan 2013.

[2] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010, hlm. 116
[3] Cholisin, Dkk, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Yogyakarta: UNY Press, 2007, hlm.138
[4] Riant  Nugroho, Gender  dan  Strategi  Pengarus-utamaannya  di  Indonesia.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, hlm. 7.
[5] Titi Anggraini, Perludem Dorong Peningkatan Kualitas Perempuan Di Pilkada Serentak 2015, www.suarapembaruan.com, diakses 7 januari 2016.
[6] Ani  Widyani  Soetjipto,  Politik  Perempuan  Bukan  Gerhana. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2005, hlm. 22-23.
[7] Muhammad Arief Iskandar, Kandidat Perempuan Dalam Pilkada Serentak. Antaranews.com, diakses tanggal 7 januari 2015.

[8] Muhammad Arief Iskandar, Kandidat Perempuan Dalam Pilkada Serentak. Antaranews.com, diakses tanggal 7 januari 2016.
[9] Taufiqurrohman, Keterwakilan Perempuan dalam Pilkada Serentak 2015. Liputan6.com, diakses tanggal 7 januari 2016.
[10] Anonim, 46 perempuan menang pilkada serentak, www.riaupos.co, diakses 7 januari 2016
[11] Robbi, Pilkada Serentak 2015, JPPR: Partisipasi Nasional 69 Persen, Perempuan Lebih Tinggi, http://nasional.harianterbit.com, diakses 7 januari 2016
[12] Ani  Widyani  Soetjipto,  Politik  Perempuan  Bukan  Gerhana. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2005, hlm. 236-237
[13] Ani  Widyani  Soetjipto,  Politik  Perempuan  Bukan  Gerhana. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2005, hlm. 237
[14] Anonim, Budaya Patriarki Hambat Perempuan Ke Pentas Pilkada 2015, http://sp.beritasatu.com/, diakses 7 januari 2016
[15]Anonim, Dominasi Budaya Patriarki Ciptakan Kesenjangan Politik Perempuan, Nasional.sindonews.com, diakses 7 januari 2016
[16] Ani  Widyani  Soetjipto,  Politik  Perempuan  Bukan  Gerhana. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2005, hlm. 145.
[17] Robbi, Pilkada Serentak 2015, JPPR: Partisipasi Nasional 69 Persen, Perempuan Lebih Tinggi, http://nasional.harianterbit.com, diakses 7 januari 2016

[18] Tegar Rizqon, Perempuan Masih Didiskriminasi, http://nasional.harianterbit.com, diakses 7 januari 2016

[19] Karono, Kartini. Pendidikan Politik. 2009. Bandung: Mandar Maju. Hlm. 63






Komentar

Postingan populer dari blog ini

HAK WARIS ANAK ANGKAT, ANAK KANDUNG dan ANAK DILUAR NIKAH

Nama        :Herman Rahma Wanto NIM          :3301413085 Hukum Perdata 1 HAK WARIS ANAK ANGKAT, ANAK KANDUNGdan ANAK DILUAR NIKAH Hak waris adalah hak seseorang untuk mendapatkan harta milik pewaris. Seseorang yang mendapat hak waris ini disebut ahli waris. Adapun perihal waris mewaris diatur dalam hukum waris. Hukum waris ( erfrecht ) yaitu seperangkat norma atau   aturan yang mengatur mengenai berpindahnya atau beralihnya hak dan kewajiban ( harta kekayaan ) dari orang yang   meninggaldunia ( pewaris ) kepada orang yang masih hidup ( ahli waris) yang berhak menerimanya. Ataudengan kata lain, hukum waris yaitu peraturan yang mengatur perpindahan harta kekayaan orangyang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain. Menurut Mr. A. Pitlo, hukum waris yaitu suatu rangkaian ket entuan – ketentuan, di mana, berhubung dengan meninggalnya seorang, akibat- akibatnya di dal...

Sekilas Mengenal Sosok Tan Malaka

SutanIbrahim atau yang lebih dikenal oleh khalayak ramai dengan sebutan Tan Malaka. Tan Malaka merupakan Pahlawan Nasional yang lahir di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat tanggal 2 Juni 1897, ia wafat di Kediri Jawa Timur, 21 Februari 1949 pada usia 51 tahun. Semasa hidupnya ia merupakan seorang aktivis dan pejuang pergerakan kemerdekaan yang terkenal gigih memperjuangkan kemerdekaan ndonesia. Beliau merupakan seorang tokoh aktivis pejuang nasionalis Indonesia dan merupakan pemimpin komunis indonesia, serta politisi yang mendirikan Partai Murba. Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tan malaka dikenal sebagai tokoh revolusioner yang legendaris namun pemerintah ketika itu menganggap dirinya sebagai pemberontak karena tindakanya yang dianggap ingin menggulingkan pemerintahan yang berkuasa. Dia merupakan sosok yang kukuh mengkritik terha...

OBJEK KAJIAN ILMU SEJARAH

OBJEK KAJIAN ILMU SEJARAH Setiap ilmu pengetahuan memiliki objek kajian yang hendak dipelajari. Objek atau sasaran ilmu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: Objek Kajian Formal dan Objek Kajian Material Objek formal atau focus of interest adalah objek yang menyagkut sudut pandang, yakni dari sudut pandang apa objek material kajian ilmu dibahas atau dikaji. Objekmaterial atau subject matter adalah objek yang mrupakan fokus kajian dari suatuilmu pengetahuan tertentu. Objekkajian sejarah adalah peruatan – perbuatan, pekerjaan atau hasil usaha manusia yang sudah tentu dipilah – pilah yang mempunyai nilai sejarah. Sejarahmempelajari  gambaran tentang peristiwamaa lampau yang dialami manusia, disusun secara ilmiah, meliputi urutan waktu,diberi tafsirkan, dan dianalisa kritis, sehingga mudah dimengerti dan dipaami. Objekkajian sejarah mengandung kesatuan makna, yaitu yang pertama jumlah perubahan – perubahan, kejadian – kejaian atau peristiwa masa lampau yang berhubungan dengan ne...