Pesona Perempuan Dalam Pilkada Serentak 2015: Jalan Terjal Srikandi Menuju Tangga Kepemimpinan Daerah
Pesona
Perempuan Dalam Pilkada Serentak 2015: Jalan Terjal Srikandi Menuju Tangga
Kepemimpinan Daerah
Oleh : Herman Rahma Wanto[1]
NIM 3301413085
Universitas
Negeri Semarang
Abstrak
Partisipasi perempuan dalam dunia politik sejauh ini
masih tergolong rendah. Begitu pula dalam perhelatan pilkada serentak 2015 ini
kaum perempuan belum dapat berbicara banyak dimana kandidat perempuan hanya 122
orang dari 1.652 peserta, atau 7,33 persen. Dengan hasil pemilihan hanya
46 daerah yang melahirkan perempuan sebagai pemimpin dari total 528 kepala
daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Namun dari segi
partisipasi penggunaan hak pilih patut kita presiasi dimana perempuan lebih
banyak menggunakan hak pilihnya dengan selisih cukup tinggi yakni 4%. Banyak
jalan terjal dan faktor yang menyertai hal itu. Salah satu faktor yang
mempengaruhi partisipasi perempuan dalam politik adalah masih kentalnya budaya
patriarki dalam masyarakat. Selain itu faktor yang mempengaruhi adalah
kurangnya modal perempuan untuk menjadi seorang pemimpin baik modal secara
fisik berupa dana finansial yang menunjangnya maupun non fisik dari mulai
kemampuan dan kualitas sumberdaya manusia dari para kader permpuan itu sendiri
yang masih diragukan. Ketiga adalah minimnya basis yang mendukung calon
perempuan dalam pertarungan politik baik basis dukungan dalam masyarakat maupun
dalam kubu partai. Oeleh karenanya kedepan para pemimpin perempuan harus mampu
menjawab semua tantangan dan keraguan yang mengitari mereka selama ini. Untuk
mewujudkan harapan itu diperlukan pembangunan politik yang demokratis dimana
berbasis pada pendidikan politik dan Gender.
Sebagai sebuah negara demokrasi Ham dan Pemilu menjadi unsur penting yang harus ada di
Indonesia. Serperti yang dikemukakan oleh Miriam Budiardjo (2010) bahwa syarat-syarat dasar untuk
terselenggaranya pemerintah yang demokratis dibawah rule of law adalah (1)perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi selain menjaminhak-hak individu, harus menentukan pula cara prosedural untuk memperolehperlindungan hak-hak yang dijamin, (2) badan kehakiman yang bebas dan tidakmemihak, (3) pemilihan umum yang bebas, (4) kebebasan untuk menyatakanpendapat, (5) kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan berposisi, (5)pendidikan kewarganegaraan[2].
Ham dan
pemilu seperti yang diungkapkan diatas merupakan dua unsur dalam konsep sebuah
negara demokrasi. Dimana keduanya saling berkaitan satu sama lain. Pemilihan
umum merupakan sarana dalam atas jaminan hak-hak politik warga negara yaitu
mencakup hak memilih dan dipilih serta hak atas kesempatan yang sama untuk
duduk dalam pemerintahan. Misalanyaadanya jaminan persamaan hak atau non-diskriminasi (bebas dari diskriminasiras, warna kulit, jenis kelamin, agama, bahasa, kebangsaan atau asal-usulsosial). Begitu pula adanya jaminan kebebasan berpendapat, berserikat, danberkumpul, bergerak, jaminan hak atas keamanan, dan proses hukum yangsemestinya. Oleh karena itu pemilu memiliki hubungan yang positif dengan
perkembangan demokrasi, apabila partai politik sebagai konstestan diberikan
jaminan berkompetisi untuk memperolah suara rakyat/pemilih[3].
Seperti dijelaskan diatas bahwa setiap warga negara
berhak atas jaminan hak-hak politiknya dan pemilu sebagai sarana untuk menjamim
hak-hak politik tersebut. Dalam hal ini
termasuk hak politik bagi mereka kaum perempuan tanpa adanya diskriminasi
gender. Gender adalah pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peran,fungsi, hak, perilaku yang dibentuk oleh ketentuan sosial dan budaya setempat. MenurutMansour Fakih, gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-lakimaupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural[4]. Indonesia
sebagai negara demokrasi harus mampu mengakomodir hak-hak politik perempuan
tersebut.
Terkait dengan hal tersebut dalam pasal 2 ayat 2 UU No 2 Tahun 2011 tentang partai politik
dijelaskan bahwa dalam pendirian dan pembentukan partai politik harus
menyertakan 30% keterwakilan perempuan. Masih dalam pasal yang sama di ayat 5
dijelaskan bahwa dalam kepengurusan pusat juga harus menyertakan 30%
keterwakilan perempuan. Lebih lanjut dalam perekrutan kader yaitu pada pasal 29
pun dijelaskan mengenai 30% keterwakilan perempuan. Dengan demikian dapat kita
lihat bagaimana secara yuridis sangat terbuka bagi kaum perempuan untuk terjun
dalam dunia politik. Jika berkaca pada pemilu legislatif 2014 lalu, UU No 8
Tahun 2012 tentang pemilu legislatif mewajibkan partai politik dalam
mencalonkan kadernya setidaknya memenuhi keterwakilan perempuan sebanyak 30%.
Namun dalam hasilnya pemilu legislatif 2014 lalu tidak
mampu memenuhi qwota 30% dalam parlemen. Justru terjadi penurunan jumlah
representasi perempuan sebanyak 97 orang atau 17.00% jika dibandingkan dengan Pemilu
2009 sebanyak 18,03% atau 101 orang. Jika berkaca pada hal tersebut dalam kasus
ini perempuan masih berada pada posisi under represented[5]. Hal
ini dikarenakan berbagai faktor salah satunya dari rendahnya partisipasi
perempuan itu sendiri.
Gambaran umum dari partisipasi perempuan dan politik di
Indonesia memperlihatkan
representasi yang rendah
dalam semua tingkatan
pengambilan keputusan, baik di tingkat
eksekutif, legislatif,
yudikatif, maupun birokrasi pemerintahan, partai politik dan kehidupan publik
lainnya. Selain rendahnya representasi atau keterwakilan
perempuan dalam kehidupan politik dalam arti jumlah atau kuantitas,
maka ada gambaran lain yang melengkapinya yakni persoalan kualitas. Partisipasi mereka di
bidang politik selama ini, jika memang itu ada, hanya terkesan memainkan peran sekunder. Mereka hanya dilihat
sebagai pemanis atau penggembira, dan ini
mencerminkan rendahnya pengetahuan
mereka di bidang politik[6].
Sudah menjadi budaya yang turun-temurun menempatkan peran
perempuan di sektor domestik dan laki-laki di sektor publik, sehingga
mengakibatkan akses dan partisipasi
perempuan dalam dunia
politik sangat rendah.
Konsekuensi yang kemudian terjadi
adalah jika dilihat
dari sudut pandang
hak dan kewajiban perempuan dalam
kehidupan bernegara, seorang perempuan
berhak untuk ikut berpartisipasi dalam dunia politik,
bahkan untuk menjadi seorang pemimpin. Namun realitanya masih
banyak masyarakat yang
menganggap keterwakilan perempuan
dalam dunia politik
adalah sesuatu yang
kurang mendapat respon
positif. Di sini nampak sekali
terjadi ketidakadilan gender dalam dunia politik.
Melihat fenomena tersebut, menarik jika kita melihat
bagaimana aksi dan kiprah perempuan dalam Pilkada Serentak 2015. Diamana sesuai
dengan amanat UU No 8 tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan
Walikota, tahun 2015 tepatnya tanggal 9 Desember menjadi gelombang pertama
pelaksanaan Pilkada Serentak yang dilaksanakan serentak di 9 provinsi, 224
kabupaten dan 36 kota[7]. Banyak
pihak yang menilai pilkada serentak ini menjadi moment bagi perempuan untuk
menunjukan kuwalitasnya dan pesonanya sebagai seorang pemimpin. Namun ada pula
yang beranggapan bahwa dalam pilkada serentak ini perempuan belum dapat
berbicara banyak.
Perempuan yang berjuang dalam pilkada serentak 2015 ini
dapat diibaratkan seorang Srikandi yaitu Pejuang Perempuan dalam cerita
pewayangan jawa yang sakti mandraguna dan mampu menunjukan tajinya dalam
dominasi kaum laki-laki. Sangat menarik bagaimana kita mencermati pilkada
serentak 2015 yang dilaksanakan 9 Desember ini. Bagaimana kiprah para Srikandi
didalamnya. Oleh karenanya penulis melalui tulisan ini ingin memberikan
analisis kiprah para Srikandi dalam Pilkada Serentak 2015 berserta jalan terjal
yang menghadangnya termasuk pula gagasan dari penulis untuk mencoba memberikan
solusi terkait berbagai hambatan tersebut.
Pilkada
serentak diprediksikan banyak pihak menjadi salah stu momentum bagi para
perempuan untuk menunjukan kwalitasnya dalam ranah eksekutif kepemimpinan
daerah. Namun dalam prakteknya
partisipasi perempuan dalam hal ini masih minim. Hasil penelusuran data laman
infopilkada.kpu.go.id, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
menyatakan kandidat perempuan dalam pilkada serentak 2015 hanya 122 orang dari
1.652 peserta, atau 7,33 persen. Dari 122 perempuan yang berlaga dalam pilkada,
56 mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan 66 orang tercatat sebagai calon
wakil kepala daerah. Para perempuan tersebut tersebar di 90 daerah dari 262
daerah kabupaten, kota, dan provinsi. Pada pilkada kabupaten, terdapat 76 orang
dari 219 wilayah. Untuk pilkada kota 13 orang dari 34 wilayah, dan provinsi
hanya 1 orang dari 9 wilayah. Sedangkan berdasarkan wilayah partisipasinya,
tercatat 79 orang mendaftar di tingkat kabupaten, 13 orang di tingkat kota, dan
satu orang tingkat provinsi[8].
Dari
data tersebut tentunya dapat kita lihat bagaimana pencalonan perempuan dalam
pilkada serentak 2015 ini masih sangat minim. Dimana hanya ada 90 daerah yang
mempunyai calon dari kaum perempuan dari total 219 yang mengikuti pilkada
serentak gelombang pertama ini. 116 orang calon perempuan dari total 1.584
peserta, atau 7,32 persen merupakan angka yang sangat timpang bagaimana kaum
laki-laki masih sangat jelas mendominasi. Sangat disayangkan bagaimana banyak
pihak mengharapkan pilkada serentak dapat menjadi momentum bagi para perempuan
untuk terjun, aktif dan berperan dalam dunia politik khususnya dalam ranah
eksekutif daerah.
Daripenelusuran latar belakang, untuk yang memiliki latar belakang anggota DPR, DPDmaupun DPRD, 26 orang mendaftar sebagai kepala daerah, 20 orang sebagai wakilkepala daerah. Untuk perempuan yang memiliki hubungan kekerabatan dengan elitepolitik, 21 orang mendaftar sebagai kepala daerah, 8 orang sebagai wakil kepaladaerah. Untuk peserta yang berstatus petahana, diketahui ada 19 orang kepaladaerah, dan 1 orang wakil kepala daerah. Peserta yang berstatus kader partai,diketahui ada 18 orang yang mendaftar sebagai kepala daerah, 21 orang sebagaiwakil kepala daerah[9].
Menarik
kita cermati bagaimana latarbelakang para calon ini. Dimana calon perempuan
berlatarbelakang kader partai cukup banyak. Hal ini merupakan hal yang positif
bagi perkembangan politik perempuan. Dimana para partai politik tidak lagi
hanya mengorbitkan kader laki-laki saja, melainkan tidak memandang sebelah mata
terhadap para kader perempuan. Dalam hal ini yang menjadi sorotan tentunya
partai politik berusaha menghadirkan kader-kader perempuan yang berkualitas.
Menelaah
lebih lanjut mengenai kiprah, tentu hal yang paling sensitif adalah hasil. Hal
yang perlu kita bahas disini adalah mengenai kemenangan para calon perempuan
dalam pilkada serentak 9 desember lalu. Dikutip dari Riaupos.com menurut direktur
eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, dari 264 daerah yang menggelar pemilihan
kepala daerah (pilkada) serentak 2015, hanya 46 daerah yang melahirkan
perempuan sebagai pemimpin. Dengan rincian 39 orang terpilih di kabupaten dan 7
di kota 24 orang perempuan yang terpilih sebagai kepala daerah. Selain itu 22
orang perempuan yang terpilih sebagai wakil kepala daerah. Angka yang terlampau
kecil, hanya 8,7 persen dari total 528 kepala daerah dan wakil kepala daerah
terpilih[10].
Melihat
data tersebut tentunya dapat kita simpulkan bagaimana kiprah para calon
perempuan dalam pilkada serentak 2015 masih kecil dan dapat dikatakan belum
dapat berbicara banyak. Namun hal tersebut rasanya merupakan momentum bagi para
kaum perempuan untuk menapaki kepemimpinan eksekutif daerah kedepan. Hal yang
sangat perlu kita apresiasi tentunya mengingat begitu banyak hambatan yang
menyertai perjalanan politik perempuan di negri ini.
Jika kita telaah lebih lanjut terkait partisipasi
perempuan dalam proses pilkada serentak 2015 ini menunjukan perkembangan yang
sangat positif. Dimana perempuan mendominasi dalam penggunaan hak pilihnya.
Terkait dengan hal tersebut Jaringan Pendidikan Pemilih Rakyat (JPPR) melakukan
pemantauan partisipasi pemilih dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 9
Desember 2015 melalui situs resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Pilkada2015
yakini kpu.go.id. Hasilnya, berdasarkan data yang masuk per Kamis (17/12), dari
229 daerah Pilkada (total 264 daerah) dengan jumlah data pemilih tetap (DPT)
sebanyak 94.117.455 (total 97.146.222), partisipasi pemilih rata-rata sebesar
69% dan perempuan lebih banyak menggunakan hak pilihnya dengan selisih cukup
tinggi yakni 4%. Koordinator Nasional JPPR, Masykurudin Hafidz, mengatakan,
jumlah DPT di 229 daerah adalah 94.117.455 dengan rincian pemilih laki-laki
47.031.770 (49,9%) dan pemilih perempuan 47.085.685 (50,1 %). Partisipasi
pemilih 60.099.431. Partisipasi laki-laki 28.640.178 (48%) dan partisipasi
perempuan 31.459.253 (52%)[11].
Hal ini menunjukan bahwa perempuan saat ini lebih sadar akan hak dan
kewajibanya dalam bidang pilitik, serta betapa pentingnya peran dalam memilih
seorang pemimpin.
Sehingga dalam kesempatan pilkada serentak ini kiprah
perempuan dalam partisipasinya sangat perlu kita apresiasi. Meskipun dalam
keterwakilan calon masih sangat minim yaitu hanya 122 orang dari 1.652 peserta,
atau 7,33% dan menghasilkan 46 pemimpin daerah perempuan. Hal ini tetap
merupakan langkah baru dalam kepemimpinan perempuan terutama dalam ranah
eksekutif daerah. Terlebih lagi perempuan dalam pilkada serentak unggul dalam
hal penggunaan hak pilihnya. Tentu saja ini adalah momentum positif bagi
perkembangan partisispasi politik perempuan kedepan.
Terkait hal tersebut perlu kita analisis lebih dalam lagi
bagaimana hambatan para calon pemimpin perempuan dalam menggapai tangga
kepemimpinan daerah. Mengingat dari data ststistik partisipasi perempuan jauh
lebih tinggi dari pada kaum laki-laki. Namun ternyata dalam hasil pencalonanya
perempuan belum mampu berbicara banyak. Oleh karenanya sangat menarik kita
bahas terkait mengapa hal tersebut bisa terjadi serta hambatan dan faktor yang
mempengaruhi hal tersebut.
Jika kita berbicara mengenai partisipasi politik perempuan di Indonesia
maka tidak lepas dari kondisi sosio-kultural atau kondisi sosial budaya
masyarakat yang multikultural. Baik dari segi agama, suku dan etnis, kelas
sosial bahkan faktor geografis dan wilayah juga sangat berpengruh dalam hal
ini. Bahwa perempuan Indonesia juga terbagi atas berbagai stratifikasi sosial
yang ada dalam masyarakatnya.
Menurut
prof. Farida Nurland, ada 3 tantangan yang harus dihadapi oleh perempuan
Indonesia yaitu :
1. Budaya Indonesia yang feodal dan patriarki
2. Pemehaman dan interprestasi konservatif masyarakat Indonesia terhadap
ajaran agama yang juga beragam.
3. Hegemoni negara yang direfleksikan dalam institusi-institusi negara yang
terus menerus mempertahankan budaya patriarki[12].
Budaya patriarki yang mengakar dan sistem politik yang
didominasi oleh laki-laki memiliki dampak negatif bagi upaya perempuan untuk
mendapatkan hak dalam partisipasi politiknya. Akibatnya adalah perempuan tidak
mendapat dukungan, dan bahkan dalam banyak hal malah dihambat, untuk mengambil
peran aktif diruang publik. Hal tersebut berpengaruh pada presepsi masyarakat
yang menganggap bahwa perempuan hanya pantas menjadi ibu rumah tangga bukan
sebagai warga masyarakat layaknya aktor politik. Pemikikiran-pemikiran seperti
ini sudah pasti akan membatasi peluang perempuan untuk terlibat aktif diranah
politik.
Norma budaya tradisional yang sudah terinternalisasi ini
mengakibatkan sebagian besar perempuan secara psikologis menjadi tidak siap
untuk berpartisipasi aktif dan terjun dalam bidang politik. Sebagian memiliki
perasaan rendah diri dan yakin bahwa mereka tidak memiliki kemampuan dan
keahlian yang dibutuhkan untuk berkecimpung di bidang politik[13].
Sehingga secara tidak langsung selain enggan terjun dalam dunia politik mereka
pun lebih mempercayai kaum laki-laki untuk menjadi seorang pemimipin.
Dikarenakan secara psikologis mereka sendiri sadar akan kelemahan mereka.
Sehingga dalam hal ini salah satu penyebab minimnya peran perempuan dalam
pilkada serentak 2015 berasal dari faktor sosio-kultural masyarakat. Seperti
dikutip dalam beritasatu.com menteri
PPPA, Yohana Yembise, mengatakan, hingga saat ini budaya patriarki di
masyarakat masih kuat, di mana perempuan ditempatkan sebagai warga kelas dua.
Ini termasuk salah satu penghambat laju perempuan dalam pilkada tahun ini[14].
Presepsi masyarakat yang buta gender (gender blind) yang menganggap perempuan
tidak patas menjadi seorang pemimpin ataupun terju ke dunia politik ini menjadi
salah satu penghambat yang signifikan. Tidak hanya
berdampak pada minimnya pencalonan kaum perempuan tetapi juga berdampak pada
dukungan terhadap para calonperempuan itu sendiri, meskipun partisipasi
perempuan dlam menggunakan hak pilihnya lebih tinggi dari laki-laki.
Dampak dari kentalnya budaya patriarki adalah tertutpnya
akses bagi perempuan untuk mengembangkan dirinya. Misalnya saja dalam ranah
pendidikan, bahwa pendidikan kaum perempuan masih sangat rendah dibanding
dengan kaum laki-laki. Sebagaimana dikutip sindonews.com bahwa menurut
sekretaris mentri PPPA tingginya angka buta huruf perempuan usia 15 tahun
keatas lebih besar yakni 9,48 persen dibanding dengan laki-laki yang hanya 4,3
persen. Hal ini menunjukan masih rendahnya tinggat pendidikan pada kaum
perempuan[15].
Hal tersebut tentunya berdampak pada tingkat partisipasi
perempuan mengingat salah satu faktor utama pendorong partisipasi politik dalah
tingginya tingkat pendidikan seseorang. Pendidikan menjadi sebuah akses penting
dalam menapaki tangga politik. Termasuk didalamnya yang menjadi unsur penting
adalah pendidikan politik. Hal ini berakibat pada belum siapnya perempuan untuk
terjun dalam dunia politik. Mengapa demikian, karena perempuan dinggap dalam
tanda kutip tidak berkompeten dalam dunia politik yang disebabkan oleh kurang
mendapatkan apa yang dinamakan dengan pendidikan politik.
Akses yang sulit tersebut berakibat pada minimnya
sumberdaya politik perempuan. Yaitu terbatasnya para kader-kader politik
perempuan yang berkualitas. Sehingga dalam partisipasinya pun tidak mampu
berbuat banyak. Alhasil politik perempuan ibaratkata politik seadanya sebagai
suatu pelengkap dalam sebuah sistem politik. Hal tersebut lebih lanjut
berdampak pada keraguan publik akan kapabilitas perempuan dalam memimpin.
Timbulah presepsi dalam masyarakat apakah perempuan mampu?, apakah perempuan
sanggup ?. Hal tersebut tentunya mengakibatkan tipisnya kesempatan bagi
perempuan untuk menunjukan tajinya dalam bidang politik. Hal itulah yang
menyebabkan partai politik enggan mengorbitkan kader-kader perempuan.
Tidak sampai disini saja kendala perempuan dalam memimpin
juga terletak pada faktor finansial. Dimana pada umumnya kaum perempuan
cenderung lebih lemah secra finansial dengan kaum laki-laki. Hal ini berdampak
pada sulitnya mencari dukungan mengingat dalam politik tidak hanya berbicara
mengenai gagasan saja tetapi finansial juga memiliki faktor penting.
Dampak
dari budaya patriarki yang telah terinternalisasi dalam masyarakat adalah
kurangnya modal perempuan untuk menjadi seorang pemimpin. Selain itu juga
berakibat lebih lanjut pada rendahnya basis dukungan kepada para kandidat dan
calon perempuan. Bahkan dalam tubuh kaum perempuan itu sendiri karena secara
psikologis mereka telah beranggapan bahwa perempuan tidak memiliki keahlian dan
kemampuan untuk terjun dalam dunia politik. Penilaian sebelah mata masyarakat
terhadap calon perempuan berdampak pada
sulitnya perempuan berkiprah dalam bidang politik.
Faktor
basis dukungan menjadi salah satu yang terpenting dalam menunjang kiprah perempuan
dalam dunia politik. Kurangnya basis dukungan merupakan kendala yang sangat
menghambat partisipasi perempuan. Pararel dengan faktor ini ternyata memang
tidak ada stu organisasipun yang bisa berperan mengkoordinir pembentukan basis
dukungan ini. akibatnnya, akan berpengaruh terhadap kuwalitas kerja perempuan
dan upaya untuk merekrut kader-kader politik perempuan untuk mengisi
lemabaga-lembaga atau organisasi-organisasi politik. Masih ditambah lagi yang
tidak kalah beratnya adalah rendahnya koordinasi atar kelompok yang bergerak
dalam urusan gender mengakibatkan juga rendahnya tingkat kesiapan perempuan
dalam menyambut pemilu yang akan datang. Salah satu prasyarat dalam menghadapi
pemilu adalah upaya untuk mengidentifikasi kandidat politisi perempuan[16].
Padahal jika kita berkaca pada Pilkada Serentak 2015 yang
dilaksanakan 9 desember lalu perempuan lebih banyak menggunakan hak pilihnya
dengan selisih cukup tinggi yakni 4%. Dari total jumlah DPT di 229 daerah
adalah 94.117.455 dengan rincian pemilih laki-laki 47.031.770 (49,9%) dan pemilih
perempuan 47.085.685 (50,1 %). Partisipasi pemilih 60.099.431. Partisipasi
laki-laki 28.640.178 (48%) dan partisipasi perempuan 31.459.253 (52%)[17].
Hal tersebut tentunya sangat berpotensi bila dimaksimalkan dalam basis dukungan
yang terkoordinir dengan baik.
Selain dukungan dari faktor masa yang tak kalah
pentingnya adalah dukungan partai politik dalam mendukung calon perempuan
maupun dalam penominasian calon perempuan. Sebagaimana diungkapkan oleh Jendral
Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Dian Kartika Sari, bahwa rendahnya
partisipasi perempuan disebabkan banyak hal, seperti rendahnya dukungan partai
politik dan kurangnya kesiapan perempuan dalam bursa pencalonan kepala daerah. Dukungan
parpol merupakan faktor penentu dalam pencalonan kepala daerah[18]. Oleh
karenanya dukungan parpol menjadi salah satu yang terpenting dalam hal ini, Lebih
lanjut berbicara dukungan parpol terhadap perempuan adalah beranjak dari
keseriusan parpol dalam mengusung calon perempuan mualai dari rekruitmen dan
kaderisasi. Terkait dengan hal tersebut dalam pasal 2 ayat 2 UU No 2 Tahun 2011 tentang partai politik
dijelaskan bahwa dalam pendirian dan pembentukan partai politik harus
menyertakan 30% keterwakilan perempuan. Masih dalam pasal yang sama di ayat 5
dijelaskan bahwa dalam kepengurusan pusat juga harus menyertakan 30%
keterwakilan perempuan. Lebih lanjut dalam perekrutan kader yaitu pada pasal 29
pun dijelaskan mengenai 30% keterwakilan perempuan. Namun sejauh ini belum
terlihat adanya keseriusan tersebut, parpol masih cenderung pragmastis dengan
memilih untuk mengorbitkan calon yang berpeluang besar menang. Kalo sudah
begini terlepas dari unsur gender dan kualitas seorang calon. Bahkan tidak
menutup kemungkinan yang berpeluang besar menang adalah yang mempunayi modal
finansial tinggi. Hal ini lah ang menutup peluang calon perempuan yang
seharusnya dapat tapil dan berlaga dalam sebuah pemilu. Selain itu kebanyakan
kader perempuan dalam parpol masih banyak yang asal comot untuk melengkapi
formalitas aturan yang ada.
Terlepas dari berbagai pendapat yang mengitarinya, terpilihnya 46 kepala daerah dalam Pilkada serentak 2015.
Dengan rincian 39 orang terpilih di kabupaten dan 7 di kota 24 orang perempuan
yang terpilih sebagai kepala daerah. Selain itu 22 orang perempuan yang
terpilih sebagai wakil kepala daerah.
Merupakan sebuah momentum besar yang patut kita apresiasi. Meskipun sangat
kecil jika dibandingkan dengan torehan kaum laki-laki namum ini merupakan
sebuah gebrakan nyata dari kaum perempuan untuk menapaki tangga kepemimpian
politik di negeri ini.
Tantangan
kedepan adalah bahwa para pemimpin perempuan yang sudah terpilih ini harus
mampu menjawab semua keraguan yang mengitari mereka selama ini. perempuan harus
dapat menunjukan bahwa mereka mampu, bahwa merek sanggup untuk menjadi seorang
pemimpin. Dengan apa menunjukannya, tentu saja dengan prestasi. Dimana para
pemimpin perempuan saat ini adalah harapan bagi pemimpin perempuan berikutnya
bahwa mereka harus mampu mengubah paradigma dan presepsi yang ada dalam
masyarakat. Bahwa perempuan juga dapat menjadi seorang pemimpin yang handal
dalam memajukan dan mensejahterakan daerahnya. Sehingga kedepan masyarakat
menjadi sadar akan peran dan kemampuan perempuan dalam memimpin. Mereka yang
bias gender akan menyadari bagaimana perempuan juga memiliki hak yang sama
dalam dunia politik. Masyarakat pun tak ragu lagi dalam menentukan pilihan dan
tidak didasarkan pada diskriminasi gender melainkan pada kualitas dari
masing-masing pemimpin.
Sebagai
contoh kecil adalah kemenangan Bu Rishma dalam Pilkada Kota Surabaya 9 Desember
lalu. Dimana ini merupakan kali ke dua beliau menjabat. Tak ada yang meragukan
popularitas Bu Rishma saat ini. Tak hanya masyarakat Surabaya bahkan hampir
semua orang mengetahuinya. Dengan berbagai prestasi atas kebijakanya beliau
dianggap menjadi sosok yang mampu mengangat kota Surabaya menjadi lebih baik.
Oleh karenanya rakyat surabaya pun tak ragu untuk memilihnya kembali dalam
momen pilkada serentak 9 desember lalu. Seketika beliau mampu mengubah presepsi
masyarakat bahwa pemimpin perempuan pun mampu untuk membawa daerahnya menuju
arah yang lebih baik.
Harapanya
kedepan para perempuan yang terpilih dalam pilkada serentak 2015 ini dapat
meniru jejak bu Rishma dalam ranah prestasi dan dedikasinya untuk memajukan dan
mesnsejahterakan daerah. Sehingga kedepan akan mengubah presepsi masyarakat terhadap
kepemimpinan perempuan dan tak ada lagi diskriminasi gender dalam bidang
politik. Kedepan perempuan harus mampu menjadi sosok yang menghadirkan solusi
dan alternatif terkait berbagai permasalahan dan carut-marut kondisi
perpolitikan di negri ini. Lebih lanjut kedepan partisipasi perempuan harus
dapat menjadi komponen penting dalam membangun Indonesia yang lebih baik.
Untuk
mewujudkan harapan itu membutuhkan langkah bagaimana kedepan pembangunan
politik ini juga harus mengakomodir hak politik dari kaum perempuan. Untuk itu
diperlukan pembangunan politik yang demokratis dimana berbasis pada pendidikan
politik dan Gender. Dalam upaya mebangunan sistem politik yang demokratis terdapat dua aspek yang menjadi sasaran
pembangunan yaitu Pemerintah dan
Masyarakat. Pemerintah sebagai penyelengara negara erat kaitanya dengan
masayrakat dalam konsep negara demokrasi. Tujuan nasional dapat diwujudkan
melalui kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dan masyarakat merupakan
bagian tak terpisahkan dari kebijakan itu. Oleh kareanya keduanya adalah hal yang
tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan politik sehingga pembangunan politik pun
harus meliputi dua aspek itu.
Dalam aspek masyarakat, untuk mengubah paradigma masyarakat terkait dengan
politik dan gender adalah melalui pendidikan politik dengan tujuan membentuk
masyarakat yang melek politik. Karena untuk mengubah paradigma yang sudah
mengakar dalam masyrakat secara tradisional tidak dapat dihilangkan dengan
mudah. Untuk itu pendidikan politik merupakan sarana yang tepat. Kartini
Kartono menjelaskan bahwa pendidikan
politik disebut juga sebagai
political forming atau politische bildung. Disebut “forming” karena mengandung
intensi untuk membentuk insan politik yang menyadari status dan kedudukan
politiknya di tengah masyarakat. dan disebut “bildung” karena istilah tersebut
menyangkut aktivitas membentuk diri sendiri, dengan kesadaran penuh dan
tanggungjawab sendiri untuk menjadi insan politik. Sedangkan Hajer mendefinisikan pendidikan politik sebagai
usaha membentuk manusia menjadi partisipan yang bertanggung jawab dalam politik[19].
Sehingga
melalui pendidikan politik inilah bagaimana membentuk masyarakat yang melek
politik yaitu yang sadar dan paham akan ststus dan kedudukannya dalam
masayarakat maupun dalam negara. Disinilah misi kesetaraan gender dan pemberian
pemahaman akan hak-hak gender dalam berbagai bidang khususnya politik
disampaikan kepada masyarakat. sehingga nantinya masyarakat akan paham dan
mengerti akan hal tersebut bawa semua orang mempunyai hak yang sama. Harapanya
kaum perempuan sendiripun akan sadar tentang status dan keudukanya yang
berimplikasi pada meningkatnya partisipasi dan peran mereka dalam bidang
politik. Sehingga kedepan harapanya akan membawa masyarakat menuju kedewasaan
politik dalam pembangunan sistem politik yang demokatis.
Selain itu diperlukan juga dukungan dari pemerintah
melalui penegasan atas aturan minimal
keterwakilan 30% perempuan dalam tubuh partai politik. Serta dari sisi partai
politik itu sendiri sebagai bagian dari masyarakat dan juga pemerintah. Diamana
perlu adanya komitmen tinggi dari partai politik bagaimana mengembangkan dan
mendorong kaum perempuan dalam meningkatkan partisipasi politik. Baik secara
kepengurusan, recruitment politik, kaderisasi politik maupun pencalonan dalam
ranah eksekutif dan legislatif.
Simpulan
1.
Dalam perhelatan
pilkada serentak 2015 ini kaum perempuan belum dapat berbicara banyak dimana
kandidat perempuan dalam pilkada serentak 2015 hanya 122 orang dari 1.652
peserta, atau 7,33 persen. Dari 122 perempuan yang berlaga dalam pilkada, 56
mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan 66 orang tercatat sebagai calon
wakil kepala daerah. Dengan hasil pemilihan hanya
46 daerah yang melahirkan perempuan sebagai pemimpin. Dengan rincian 39 orang
terpilih di kabupaten dan 7 di kota 24 orang perempuan yang terpilih sebagai
kepala daerah. Selain itu 22 orang perempuan yang terpilih sebagai wakil kepala
daerah. Angka yang terlampau kecil, hanya 8,7 persen dari total 528 kepala
daerah dan wakil kepala daerah terpilih.
Namun dari segi partisipasi penggunaan hak pilih patut kita presiasi dimana
dari jumlah data pemilih tetap (DPT) sebanyak 94.117.455 (total 97.146.222),
partisipasi pemilih rata-rata sebesar 69% dan perempuan lebih banyak
menggunakan hak pilihnya dengan selisih cukup tinggi yakni 4%. Hal ini
menunjukan bahwa perempuan saat ini lebih sadar akan hak dan kewajibanya dalam
memilih seorang pemimpin.
2.
Salah satu faktor
yang mempengaruhi partisipasi perempuan dalam politik adalah masih kentalnya
budaya patriarki dalam masyarakat. Dimana masyarakat menganggap bahwa perempuan
hanya pantas menjadi ibu rumah tangga bukan sebagai warga masyarakat layaknya
aktor politik. Pemikikiran-pemikiran seperti ini sudah pasti akan membatasi
peluang perempuan untuk terlibat aktif diranah politik. Presepsi masyarakat
yang buta gender (gender blind) yang
menganggap perempuan tidak patas menjadi seorang pemimpin ataupun terjun ke
dunia politik ini menjadi salah satu penghambat yang signifikan.
3.
Selain itu faktor
yang mempengaruhi adalah kurangnya modal perempuan untuk menjadi seorang
pemimpin baik modal secara fisik berupa dana finansial yang menunjangnya maupun
non fisik dari mulai kemampuan dan kualitas sumberdaya manusia dari para kader
permpuan itu sendiri yang masih diragukan.
4.
Ketiga adalah
minimnya basis yang mendukung calon perempuan dalam pertarungan politik baik
basis dukungan dalam masyarakat maupun dalam kubu partai. Faktor basis dukungan
menjadi salah satu yang terpenting dalam menunjang kiprah perempuan dalam dunia
politik. Kurangnya basis dukungan merupakan kendala yang sangat menghambat
partisipasi perempuan.
5.
Oeleh karenanya
kedepan para pemimpin perempuan harus mampu menjawab semua tantangan dan
keraguan yang mengitari mereka selama ini. disisi lain mereka juga harus
menjadi sosok alternatif kepemimpinan yang menyediakan berbagai solusi terkait
berbagai persmasalahan dan carut marut politik di negri ini. sehingga harapnya
kedepan dapat merubah presepsi masyarakat yang patriarki dan dapat meningkatkan
partisipasi kamu perempuan untuk berperan aktif dalam dunia politik dan menjadi
sosok penting dalam pembangunan negri ini.
6.
Untuk mewujudkan
harapan itu diperlukan pembangunan politik yang demokratis dimana berbasis pada
pendidikan politik dan Gender. Melalui pendidikan politik inilah
bagaimana membentuk masyarakat yang melek politik yaitu yang sadar dan paham
akan ststus dan kedudukannya dalam masayarakat maupun dalam negara. Disinilah
misi kesetaraan gender dan pemberian pemahaman akan hak-hak gender dalam
berbagai bidang khususnya politik disampaikan kepada masyarakat Selain itu diperlukan juga dukungan dari pemerintah
melalui penegasan atas aturan minimal
keterwakilan 30% perempuan dalam tubuh partai politik. Serta dari sisi partai
politik itu sendiri sebagai bagian dari masyarakat dan juga pemerintah. Diamana
perlu adanya komitmen tinggi dari partai politik bagaimana mengembangkan dan
mendorong kaum perempuan dalam meningkatkan partisipasi politik.
Saran
1.
Perlu adanya
sosialisasi tentang pendidikan
seks, gender, dan
kodrat dalam konsep gender di
dalam masyarakat luas khususnya kaum perempuan karena selama ini hanya elit
feminis serta kalangan tertentu yang tahu tentang konsep gender.
2.
Perlu adanya
pendidikan politik bagi seluruh
masyarakat yang mengdepankan aspek demokrasi dan hak asasi manusia termasuk
didalamnya terkait genger dalam
rangka untuk meningkatkan pemahaman
dan kesadaran akan ststus dan kedudukanya serta dalam rangka meningktakan partisipasi
masyarakat untuk dapat berperan aktif dalam politik.
3.
Mayarakat harus
bisa meghilangkan budaya patriarki, mindstream, yang bias gender selama
ini.
4.
Kaum perempuan
harus mampu menunjukan diri dan tampil dalam masyarakat agar secara bertahap
dapat menghapuskan budaya patriarki.
5.
Perlu adanya
keseriusan dari pemerintah dan partai politik dalam upaya mengakomodir hak
politik perempuan.
Daftar Rujukan
Anonim. 2015. Budaya Patriarki Hambat
Perempuan Ke Pentas Pilkada 2015. http://sp.beritasatu.com/
: diakses 7 januari 2016
Anonim. 2015. Dominasi Budaya
Patriarki Ciptakan Kesenjangan Politik Perempuan. Nasional.sindonews.com:
diakses 7 januari 2016
Anonim. 2015. 46 perempuan
menang pilkada serentak, www.riaupos.co:
diakses 7 januari 2016
Anggraini. Titi. 2015. Perludem Dorong
Peningkatan Kualitas Perempuan Di Pilkada Serentak. www.suarapembaruan.com : diakses 7 januari 2016.
Arief . Muhammad.
Iskandar. 2015. Kandidat Perempuan
Dalam Pilkada Serentak. Antaranews.com:
diakses tanggal 7 januari 2016.
Budiardjo. Miriam. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politik.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Cholisin.
Dkk. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Yogyakarta: UNY
Press.
Karono. Kartini. 2009. Pendidikan Politik.
Bandung: Mandar Maju.
Nugroho. Riant. 2008. Gender dan
Strategi Pengarus-utamaannya di Indonesia.Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Robbi. 2015. Pilkada Serentak
2015, JPPR: Partisipasi Nasional 69 Persen, Perempuan Lebih Tinggi, http://nasional.harianterbit.com : diakses 7 januari 2016.
Taufiqurrohman. 2015. Keterwakilan Perempuan dalam Pilkada Serentak
2015. Liputan6.com: diakses tanggal 7 januari 2016.
Tegar Rizqon. Perempuan Masih
Didiskriminasi. http://nasional.harianterbit.com: diakses 7 januari 2016
Widyani. Ani Soetjipto. 2005. Politik Perempuan
Bukan Gerhana. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
[1]
Mahasiswa S1 Jurusan Politik Dan Kewarganegaraan,
Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang. Angkatan 2013.
[4]
Riant Nugroho, Gender dan
Strategi Pengarus-utamaannya di
Indonesia.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, hlm. 7.
[5] Titi
Anggraini, Perludem Dorong Peningkatan
Kualitas Perempuan Di Pilkada Serentak 2015, www.suarapembaruan.com, diakses 7
januari 2016.
[6]
Ani Widyani Soetjipto,
Politik Perempuan Bukan
Gerhana. Jakarta: Kompas
Media Nusantara, 2005, hlm. 22-23.
[7] Muhammad Arief Iskandar, Kandidat
Perempuan Dalam Pilkada Serentak. Antaranews.com, diakses tanggal 7 januari 2015.
[8] Muhammad Arief Iskandar, Kandidat
Perempuan Dalam Pilkada Serentak. Antaranews.com, diakses tanggal 7 januari 2016.
[9] Taufiqurrohman, Keterwakilan Perempuan
dalam Pilkada Serentak 2015. Liputan6.com, diakses tanggal 7 januari 2016.
[11] Robbi, Pilkada Serentak 2015, JPPR:
Partisipasi Nasional 69 Persen, Perempuan Lebih Tinggi, http://nasional.harianterbit.com, diakses 7 januari 2016
[12] Ani Widyani
Soetjipto, Politik Perempuan
Bukan Gerhana. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2005, hlm. 236-237
[13] Ani Widyani
Soetjipto, Politik Perempuan
Bukan Gerhana. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2005, hlm. 237
[14] Anonim, Budaya Patriarki Hambat
Perempuan Ke Pentas Pilkada 2015, http://sp.beritasatu.com/, diakses 7 januari 2016
[15]Anonim, Dominasi Budaya Patriarki
Ciptakan Kesenjangan Politik Perempuan, Nasional.sindonews.com, diakses 7
januari 2016
[16] Ani Widyani
Soetjipto, Politik Perempuan
Bukan Gerhana. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2005, hlm. 145.
[17] Robbi, Pilkada Serentak 2015, JPPR:
Partisipasi Nasional 69 Persen, Perempuan Lebih Tinggi, http://nasional.harianterbit.com, diakses 7 januari 2016
[18] Tegar Rizqon, Perempuan Masih Didiskriminasi,
http://nasional.harianterbit.com, diakses 7 januari 2016
Komentar
Posting Komentar