Langsung ke konten utama

PEMIKIRAN POLITIK BUNG HATTA



Cita-cita tentang keadilan sosial adalah sari pati dari nilai-nilai timur dan barat yang  mengkristal  dan  membentuk  visi  Hatta  mengenai  masalah-masalah  politik kenegaraan. Hatta sangat percaya bahwa demokrasi adalah hari depan sistem politik Indonesia. Kepercayaan yang mendalam kepada prinsip demokrasi inilah yang pernah menempatkan Hatta pada posisi yang berseberangan dengan Bung Karno ketika masa Demokrasi  Terpimpin  (1959-1966).  Hatta  menilai  sistem  ini  sebagai  sistem otoriterian  yang  menindas  demokrasi.  Sekalipun  pendapatnya  berbenturan  denganBung  Karno,  Hatta  tetap  saja  memberikan  fair  chance kepada  presiden  untuk membuktikan dalam realitas.
Sekalipun  tertindas,  di  mata  Hatta  demokrasi  tidak  akan  pernah  lenyap  dari  bumi Indonesia. Menurut Hatta ada tiga sumber pokok demokrasi yang mengakar di Indonesia.  Pertama, sosialisme  Barat  yang  membela  prinsip-prinsip  humanisme, sementara  prinsi-prinsip  ini  dinilai  juga  sekaligus sebagai  sebagai  tujuan.  Kedua,ajaran  Islam  memerintahkan  kebenaran  dan  keadilan  Tuhan  dalam  masyarakat. Ketiga,  pola  hidup  dalam  bentuk  kolektivisme  sebagaimana  terdapat  di  desa-desa wilayah Indonesia. Ketiga sumber inilah yang akan menjamin kelestarian demokrasi di Indonesia. Baginya, suatu kombinasi organik antara tiga sumber kekuatan yang bercorak  sosio  religius  inilah  yang  memberi  keyakinan  kepada  Hatta  bahwa demokrasi telah lama berakar di Indonesia tidak terkecuali di desa-desa. Bila di desa yang  menjadi  tempat  tinggal  sekitar  70%  rakyat  Indonesia  masih  mampu  bertahan, maka siapakah yang meragukan hari depan demokrasi di Indonesia.[1]
Pertama,  Hatta  sebagai  peletak  dasar  utama  negara  demokrasi konstitusional,  baik  dalam  praktik  tataran  nilai-nilai  maupun  praktik kelembagannya.  Sejak  menjadi  mahasiswa  di  Belanda  dan  ketua  Perhimpunan Indonesia  di  Eropa,  telah  menampilkan  sikap-sikap  yang  pro-HAM. Pembelaannya  di  pengadilan  Belanda,  Indonesia  Vriij,  pada  1928,  telah menggemparkan Belanda terhadap perlawannya akan penindasan dan keterhinaan rakyat  jajahan,  ketiadaan  emansipasi,  diskriminasi,  brutal,  dan  menggolongkan anak  negeri  sebagai  warga  negara  kelas  tiga  (inlander)  di  bawah  Eropa  dan Vreemdem Oosterlingen.
Kedua,  mampu  menyelesaikan  konflik  ideologi  yang  timbul  akibat ditempatkannya  piagam  Jakarta  yang  di  dalamnya  mengatur  asas  ketuhanan “dengan  kewajiban  menjalankan  syariat  Islam  bagi  pemeluk-pemeluk”  sebagai Pembukaan UUD 1945  dan pasal 29 UUD 1945. Hatta tegas menghapus “tujuh kata”  tersebut.  Di  sini,  Hatta  tampak  sebagai  penganut  demokrasi  sejati  dengan mengacu  pada  persamaan  hukum  bagi  semua  warga  negara  termasuk  jaminan HAM untuk mendapatkan kebebasan beragama.
Ketiga,  lahirnya  Maklumat  X  pada  16  Oktober  1945  yang  berbunyi “Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) menjadi Badan Legislatif dengan ikut menetapkan  GBHN,  dan  dibentuk  Badan  Pekerja  yang  diketuai  oleh  Sutan Sjahrir.”  Hatta  melihat  bila  pemerintahan  berjalan  tanpa  kontrol  lembaga legislative,  terutama  yang  berfungsi  menyusun  GBHN,  maka  pemerintah  akan berjalan  absolut.  Fakta  ini  menunjukkan  betapa  Hatta  memiliki  konsep kenegaraan  konstitusional  demokratik  atau  negara  hukum  dengan  perbuatan nyata.  Di  dalam  pembukaan  UUD  1945  tertera,  tersurat,  dan  tersirat  cita-cita untuk  membangun  Indonesia  sebagai  negara  yang  bukan  saja  merdeka  dan berdaulat,  akan  tetapi  juga  negara  yang   berdasarkan  kedaulatan  rakyat  atau demokrasi serta berdasarkan konstitualisme. Hal ini terlihat dalam kalimat “Maka disusunlah Kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar  Negara  Indonesia  yang  terbentuk  dalam  suatu  susunan  Negara  Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat”.
Keempat,  lahirnya  Manifesto  Politik  1  November  1945  yang  berisi  asasasas  negara  yang  dijadikan  pedoman  dalam  keberhasilan  perjuangan  diplomatic melawan  Belanda  yang  berusaha  kembali  untuk  memperoleh  kekuasaannya  di atas  bekas  jajahan  di  Asia  Tenggara.  Salah  satu  isinya  adalah  tekad  untuk menegakkan asas-asas universal pemerintahan yang baik mencakup transparansi, partisipasi  masyarakat,  dan  pertanggungjawaban.  Ketiga  pemikiran  itu  telah dipopulerkan Hatta sebelum manifesto itu.
Kelima,  Manifesto 1 November 1945 juga memberi kebebasan kekuasaan dari  luar  dengan  memberi  kesempatan  yang  terbuka  agar  pemerintah  berusaha untuk  mencapai  perkembangan  bangsa  dan  negara  mewujudkan  tatanan Internasional dalam waktu yang sesingkat-singkatnya mengenai hak-hak autentik rakyat sesuai dengan aspirasi PBB.
Keenam,  Hatta  mengeluarkan  Maklumat  Pemerintah  3  November  1945 yang dilakukan dalam rangka mempertahankan eksistensi Republik Indonesia dan diperlukan  partisipasi  yang  luas  dari  segala  lapisan  masyarakat.  Pemikiran  ini didasari  masyarakat  kita  tidak  bersifat  tunggal,  melainkan  terdiri  dari  berbagai golongan  dan  aliran  politik,  sehingga  mustahil  bila  “kenyataan  sosiologis”  yang ada  saat  itu  hanya  diwadahi  oleh  satu  partai  politik.  Bagi  Hatta,  partai-partai politik  dapat  memimpin  ke  jalan  yang  teratur  segala  aliran  paham  yang  ada sekaligus  memberikan  pencerahan  kepada  masyarakat.  Padahal  arus  utama  elit politik  saat  itu  lebih  banyak  menghendaki  partai  tunggal,  yakni  Partai  Nasional Indonesia.
Ketujuh,  Hatta  menyetujui  usulan  dari  Badan  Pekerja  KNIP  tentang perubahan  system  pemerintahan  presidensiil  ke  parlementer  yang  diketuai  oleh Sjahrir  dengan  alasan UUD  1945  tidak  memuat  pasal  yang  mewajibkan  atau melarang pertanggungjawaban di tingkat menteri, dan bahwa pertanggungjawaban ke KNIP (MPR) merupakan salah satu cara menegakkan kedaulatan rakyat.
Kedelapan, Hatta mewakili  delegasi  Indonesia  dalam  Konferensi  Meja Bundar (KMB) di Den Haag tahun 1949. Hasil dari KMB itu adalah terbentuknya Negara Federal Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan konstitusi baru bernama RIS. Hal yang menonjol dari UU RIS adalah untuk pertama kali bangsa Indonesia menerima sepenuhnya Deklarasi Universal HAM yang dideklarasikan oleh PBB pada  1949.  Ini  menunjukkan  bahwa  Hatta  sangat  berpikiran  maju  dalam perjuangan HAM.
Kesembilan,  adanya  perbedaan  pandangan  antara  Soekarno  dan  Hatta dalam  mengelola  negara  pertengahan  tahun  1950-an.  Soekarno  mulai menyingkirkan  lawan  politiknya  yang  tidak  sehaluan,  sementara  Hatta  lebih menekankan dasar hukum dan pembangunan ekonomi demi kesejahteraan rakyat. Ketika  merumuskan  dasar-dasar  konstitusi  pascakemerdekaan,  Hatta  tegas berpandangan  bahwa  hak  asasi  manusia  dan  hak-hak  warga  negara  harus dicantumkan  dalam  dasar  konstitusi  tersebut  sebagai  perlindungan  atas  Negara dan  warga  yang  merdeka.  Soekarno  sebaliknya,  pencantuman  HAM  dipandang  bertentangan dengan semangat kekeluargaan yang mesti diabadikan.[2]

Tentang  masalah  kebangsaan,  Bung  Hatta  memandang ada  bermacammacam  rupa  dan  golongan  yang  memajukannya.  Pada  masa  pergerakan,  setidaknya Bung Hatta melihat ada tiga macam rasa kebangsaan,  yaitu kebangsaan  cap ningrat, kebangsaan cap intelek dan kebangsaan cap rakyat. Rasa kebangsaan yang dimiliki kaum ningrat merupakan golongan pemerintah yang sejak jaman penjajahan berharap, jika  Indonesia  merdeka  merasa  dalam  hati  bahwa  kekuasaan  akan  berpindah  ke tangan mereka. Mereka merasa dalam hati bahwa mereka mempunyai hak mendasar riwayat  alias  historisch  Recht atas  pemerintahan  Indonesia.  Bagi  kaum  ningrat, kembalinya  kejayaan  Majapahit  ke  atas  alam  Indnesia senantiasa  menjadi  obsesi.
Dalam situasi kebangsaan seperti ini rakyat menempati posisi marjinal. Bagi kaum intelek, terpelajar, dan cerdik pandai, kekuasaan haruslah berada di tangan mereka. Bila kemerdekaan tercapai, karena mereka memiliki kemampuan tinggi,  merekalah   yang  akan  memimpin  memajukan  bangsa  dan  negara.  Mereka menolak  sistem  keturunan,  sebab  yang  terpenting  adalah  pendidikan  atau kemampuan. Bukan bangsawan daerah yang mereka akui,melainkan karena otak dan kecakapan.  Posisi  rakyat  dalam  teori  ini  juga  marjinal,  sebab  mereka  hanya digunakan untuk membesarkan pengaruh mereka. Kebangsaan  cap  ningrat  maupun  kebangsaan  cap  intelek,  tidak  sesuai dengan keinginan Hatta, karena keduanya memandang rendah rakyat, dan keduanya kurang  mengikutsertakan  rakyat  dalam    pemerintahan  dan  pengambilan  keputusan. Kebangsaan yang dicita-citakan Hatta adalah kebangsaan cap rakyat. Di samping itu, kebnagsaan  yang  dianut  Hatta  bukanlah  kebangsaan  yang  membenci  bangsa  lain. Semua bangsa hendaknya menjalin persaudaraan, tetapi tentu hal itu tidak mungkin terjelma selama kedudukan bangsa bertinggi-rendah,  bila yang satu menjadi penjajah dan  yang  lain  terjajah.  Hubungan  persaudaraan  antar bangsa  hanyalah  bias  terjalin bila kedua bangsa tersebut sederajat.
Jika  dibandingkan  dengan  nasionalisme  yang  dianut  Bung  Karno,  maka berbeda  ceritanya.  Nasionalisme  Soekarno  bersifat  anti  penjajahan  dan  anti imperialisme  yang  kemudian  berkembang  menjadi  anti  unsur-unsur  Barat.  Baginya nasionalisme  yang  tumbuh  di  Barat  berbeda  dengan  nasionalisme  Timur.  Kalau  di Barat, nasionalisme tersebut bercirikan komersialisme, kapitalisme, kolonialisme, dan imperialisme. Sedangkan nasionalisme Timur mempunyai cirri-ciri sebaliknya, anti kolonialisme  dan  anti  Barat,  sehingga  tidak  memungkinkan  untuk  berkerja  sama dengan imperialisme Barat.
Menurut  Hatta,  riwayat  dunia  cukup  memberi  bukti bahwa  pada  bangsa yang  bergerak  untuk   kemerdekaannya,  cita-cita  internasionalisme  kalah  oleh semangat  kebangsaan.  Sebagai  argumen  Bung  Hatta  untuk  mendukung  pernyataan tersebut,  ia  menunjuk  kepada  ketidakberhasilan  Partai  Buruh  di  Inggris  untuk menanam persaudaraan dengan orang-orang Irlandia. Hatta memandang bahwa citacita  persatuan  lekas  timbul  dari  negeri  Industri,  dimana  rakyatnya  yang  memburuh terlepas  dari  ikatan  tanah  dan  tempat,  melainkan  disusun  oleh  pabrik  dan  disiplin kerja. Sebagai  rujukan  Bung  Hatta  dalam  hal  ini  adalah  negara  Inggris  yang merupakan negara Industri. Sedangkan rujukannya untuk negeri agraria yang lambat persatuannya  adalah  Italia.  Kedudukan  bangsa  tidak  ditentukan  oleh  bahasa  yang sama, dan  agama  yang serupa, melainkan oleh kemauanuntuk bersatu, dimana ada kemauan  untuk  bersatu  dalam  perikatan  yang  bernama   bangsa,  di  situlah  timbul kebangsaan.[3]
Politik luar negeri Indonesia pertama kali dikemukakan oleh Hatta di depan Badan Pekerja Komite  Nasional  Indonesia Pusat (KNIP) pada tanggal 2 September 1948,  dan  dalam  pidatonya  yang  berjudul  “Mendayung  di  antara  Dua  Karang”, selagi  Indonesia  sedang  berada  dalam  awal  pembangunan  setelah  sekian  lama kemerdekaan penuh belum didapatkan. Peranan Bung Hatta juga diakui oleh Mochtar Kusumaatmaja,  bahwa  Bung  Hatta-lah  orang  pertama  sebagai  peletak  dasar  politik luar  negeri  Indonesia. Pernyataan  Bung  Hatta  yang  cukup  menggelitik  adalah mestikah kita bangsa Indonesia yang berjuang untuk kemerdekaan bangsa dan Negara kita  hanya  harus  memilih  antara  pro-Rusia  atau  pro-Amerika?  Apakah  tidak  ada pendirian  yang  lain  yang  harus  kita  ambil  dalam  mengejar  cita-cita  kita  ? Pertanyaan  itu  kemudian  dijawab  oleh  Bung  Hatta  sendiri,  bahwa  pendirian  yang harus  kita  ambil  adalah  supaya  bangsa  Indonesia  tidak  menjadi  objek  dalam pertarungan  politik  internasional,  melainkan  kita  harus  tetap  menjadi  subyek   yang berhak  menentukan  sikap  kita  sendiri,  berhak  memperjuangkan  tujuan  kita  sendiri, Indonesia  merdeka  seluruhnya.  Ini  merupakan  dasar  yang  fundamental  daripada politik bebas Republik Indonesia.
Dasar perjuangan yang telah menjadi semboyan yaitu percaya akan diri sendiri dan berjuang atas kesanggupan sendiri. Tetapi bukan berarti menutup diri dari dunia  luar.  Bangsa  Indonesia  harus  bias  mengambil  keuntungan  dari  situasi internasional untuk mencapai tujuan bangsa. Politik luar negeri yang kita kenal sekarang adalahbebas aktif, walau ketika Hatta  memberikan  penjelasan  saat  itu  tidak  pernah  menyebut  kata  tersebut.  Tetapi jika dilihat secara lebih teliti keterangan Bung Hatta tanggal 2 September 1948 yang berjudul “Mendayung Di antara Dua Kaarang” artinya tidak lain dari politik bebas aktif.  Mendayung sama  artinya  dengan  upaya  aktif  dan  antara  dua  karang adalah tidak terikat oleh dua kekuatan adikuasa yang ada (bebas)).
Tujuan sesungguhnya adalah mencapai kemerdekaan Indonesia seluruhnya. Oleh  karena  itu,  segala  siasat  ke  dalam  dank  e  luar disusun  untuk  melaksanakan Indonesia tersebut. Sedangkan mengenai kedudukan Indonesia di dunia Internasional, kita harus pintar membaca situasi dunia. Indonesia  terdiri dari beribu-ribu pulau dan berada dalam posisi persimpangan dalam hubungan internasional. Secara  jelas  dan  sistematis  tujuan  poliitk  luar  negeri  menurut  Hatta  pokokpokoknya adalah sebagai berikut.
1.     Mempertahankan kemerdekaan bangsa dan menjaga keselamatan negara.
2.     Memperoleh dari luar negeri barang-barang yang diperlukan untuk memperbesar kemakmuran  rakyat,  apabila  barang-barang  itu  tidak  atau  belum  dihasilkan sendiri.
3.     Perdamaian  internasional,  karena  hanya  dalam  damai  Indonesia  dapat membangun dan memperoleh syarat-syarat  yang  diperlukan untuk memperbesar kemakmuran rakyat.
4.     Persaudaraan  segala  bangsa  sebagai  pelaksanaan  dari cita-cita  yang  tersimpul dalam Pancasila menjadi dasar filsafat negara kita.
Jika kita ingin mencapai tujuan tersebut di atas maka kita harus membuat strategi  yang  jitu  agar  target  di  atas  dapat  kita  capai  dengan  gemilang.  Strategi tersebut bias diterima secara umum di dunia internasional, agar tahu itikad baik kita sebagai Negara yang baru merdeka. Sedangkan faktor-faktor yang menentukan politik luar  negeri  ada  dua,  yakni  factor  subyektif  dan  obyektif.  Faktor-faktor  itulah  yang membedakan haluan politik luar negeri suatu bangsa  dengan bangsa lainnya. Faktor subjektif yang mempengaruhi yaitu keinginan suatu negeri atau perasaan simpati atau antipati dari para ahli negara-negara dan pemimpin Negara. Sedangkan factor objektif yang  ikut  menentukan  yaitu,  keadaan-keadaan  yang  nyata  yang  dihadapinya  dan kedudukan  geografinya  serta  dasar  filsafat  negara  kita.  Golongan  partai  politik manapun  yang  memegang  kekuasaan  Negara  pada  suatu  waktu,  ia  tidak  dapat menjalankan politik Negara yang menyimpang dari Pancasila itu.
Bung Hatta tidak pernah melepaskan keinginannya bahwa dalam masalah politik  luar  negeri  Indonesia  harus  mempertahankan  politik  luar  negeri  yang  bebas aktif.  Boleh  memihak  mengenai  masalah  tertentu,  pada  waktu  tertentu,  tetapi  tidak mengorbankan  kemerdekaan  dan  kebebasannya  menentukan  pilihan  untuk  jangka panjang  bagi  kepentingan  Negara  manapun.   Lebih  lanjut  Hatta  menambahkan, bahwa  bangsa  Indonesia  harus  secara  jitu   menempatkan  diri  sebagai  bangsa  yang baru  merdeka  di  tengah-tengah  bangsa-bangsa  di  Dunia.  Indonesia  harus berpartisipasi  aktif  dalam  upaya  mewujudkan  kemerdekaan  dan  perdamaian  dunia. Bangsa  Indonesia  tidak  perlu  memasukkan  dirinya  dalam  salah  satu  blok,  tetapi bukan berarti menentang suatu blok.[4]


[1] Aman. Pemikiran Hatta Tentang Demokrasi, Kebangsaan Dan Hak Azasi Manusia. Pendidikan Sejarah UNY. 2015. Staf.uny.ac.id

[2] Hutabarat. Pangeran. Nagari. Pemikiran Politik Mohammad Hatta Tentang Demokrasi. Fisip Universitas Diponegoro.
[3] Aman. Pemikiran Hatta Tentang Demokrasi, Kebangsaan Dan Hak Azasi Manusia. Pendidikan Sejarah UNY. 2015. Staf.uny.ac.id
[4] [4] Aman. Pemikiran Hatta Tentang Demokrasi, Kebangsaan Dan Hak Azasi Manusia. Pendidikan Sejarah UNY. 2015. Staf.uny.ac.id

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

HAK WARIS ANAK ANGKAT, ANAK KANDUNG dan ANAK DILUAR NIKAH

Nama        :Herman Rahma Wanto NIM          :3301413085 Hukum Perdata 1 HAK WARIS ANAK ANGKAT, ANAK KANDUNGdan ANAK DILUAR NIKAH Hak waris adalah hak seseorang untuk mendapatkan harta milik pewaris. Seseorang yang mendapat hak waris ini disebut ahli waris. Adapun perihal waris mewaris diatur dalam hukum waris. Hukum waris ( erfrecht ) yaitu seperangkat norma atau   aturan yang mengatur mengenai berpindahnya atau beralihnya hak dan kewajiban ( harta kekayaan ) dari orang yang   meninggaldunia ( pewaris ) kepada orang yang masih hidup ( ahli waris) yang berhak menerimanya. Ataudengan kata lain, hukum waris yaitu peraturan yang mengatur perpindahan harta kekayaan orangyang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain. Menurut Mr. A. Pitlo, hukum waris yaitu suatu rangkaian ket entuan – ketentuan, di mana, berhubung dengan meninggalnya seorang, akibat- akibatnya di dal...

Sekilas Mengenal Sosok Tan Malaka

SutanIbrahim atau yang lebih dikenal oleh khalayak ramai dengan sebutan Tan Malaka. Tan Malaka merupakan Pahlawan Nasional yang lahir di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat tanggal 2 Juni 1897, ia wafat di Kediri Jawa Timur, 21 Februari 1949 pada usia 51 tahun. Semasa hidupnya ia merupakan seorang aktivis dan pejuang pergerakan kemerdekaan yang terkenal gigih memperjuangkan kemerdekaan ndonesia. Beliau merupakan seorang tokoh aktivis pejuang nasionalis Indonesia dan merupakan pemimpin komunis indonesia, serta politisi yang mendirikan Partai Murba. Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tan malaka dikenal sebagai tokoh revolusioner yang legendaris namun pemerintah ketika itu menganggap dirinya sebagai pemberontak karena tindakanya yang dianggap ingin menggulingkan pemerintahan yang berkuasa. Dia merupakan sosok yang kukuh mengkritik terha...

OBJEK KAJIAN ILMU SEJARAH

OBJEK KAJIAN ILMU SEJARAH Setiap ilmu pengetahuan memiliki objek kajian yang hendak dipelajari. Objek atau sasaran ilmu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: Objek Kajian Formal dan Objek Kajian Material Objek formal atau focus of interest adalah objek yang menyagkut sudut pandang, yakni dari sudut pandang apa objek material kajian ilmu dibahas atau dikaji. Objekmaterial atau subject matter adalah objek yang mrupakan fokus kajian dari suatuilmu pengetahuan tertentu. Objekkajian sejarah adalah peruatan – perbuatan, pekerjaan atau hasil usaha manusia yang sudah tentu dipilah – pilah yang mempunyai nilai sejarah. Sejarahmempelajari  gambaran tentang peristiwamaa lampau yang dialami manusia, disusun secara ilmiah, meliputi urutan waktu,diberi tafsirkan, dan dianalisa kritis, sehingga mudah dimengerti dan dipaami. Objekkajian sejarah mengandung kesatuan makna, yaitu yang pertama jumlah perubahan – perubahan, kejadian – kejaian atau peristiwa masa lampau yang berhubungan dengan ne...